𝐖𝐡𝐨 𝐚𝐫𝐞 𝐲𝐨𝐮

66 13 1
                                    

Gracia Gilbert POV

Aku rasa, aku sudah mulai terbiasa dengan perjalanan ini sehingga aku merasa jarak antara Atlanta dan Easterly begitu singkat.

Ketika aku berhasil mempersatukan Harry dan Carol, kukira aku berhasil membuat Harry tersenyum. Namun nyatanya sepanjang perjalanan Harry nampak begitu tegang. Tidak henti-hentinya ia melamun. Dan bahkan ketika aku ataupun Niall memanggilnya ia terlihat tidak fokus. Terlebih ketika kami semua telah sampai di sebuah rumah dengan pagar berwarna hijau.

"Sepertinya tidak ada orang. Sudah ku bilang seharusnya kita ke rumah Niall dulu." Dahi Harry sudah berkeringat sejak datang kemari. Ia terlihat gelisah dan juga takut. Namun aku segera menggapai lengannya dan tersenyum.

"Lebih baik kita menunggu bukan?" Kataku padanya sehingga ia hanya menatapku tanpa menjawab.

"Lagipula kau selalu bilang kalau kau memiliki adik perempuan yang begitu cantik." Balas Niall dengan sinis ketika ia turun dari Carlos.

Harry menarik bibirnya di sela-sela giginya. Ketika tangannya hendak meraih handle pintu, berbarengan kami semua berbalik ketika mendengar suara umpatan seseorang. Terlihat seorang gadis muda berambut coklat yang di sanggul ke atas tengah berbungkuk memunguti barang bawaannya yang terjatuh berserakan di tanah.

Dan tatapanku langsung beralih ke arah Harry yang memperhatikan gadis itu dengan tangan yang mengepal kuat hingga urat-urat berwarna hijau muncul. Rahangnya menegas ketika ia meneguk salivanya berbarengan dengan tubuhnya yang begitu kaku. Pun ia tiba-tiba berlari menghampiri gadis itu, ikut berbungkuk membantunya memasukkan buah-buahan.

Saat gadis itu merasa ada seorang yang menghampirinya, ia terlihat gembira sekali. Namun pada saat gadis itu mendongak, tas yang di pegang dengan  buah-buahan yang sudah di rapikan kembali terjatuh. Matanya seperti kaca yang retak— tubuhnya bergetar seakan tidak sanggup untuk benar-benar memahami situasi saat ini. "Harry?" Lirihnya.

Harry tersenyum di sela-sela butir air mata yang jatuh ke pipinya yang segara ia tepis. "Aku merindukanmu. Kau tidak merindukanku Harry?" Kata perempuan itu sambil mengusap pipi Harry.

"Setiap hari, aku selalu merindukanmu." Harry langsung meraih tubuh kecil itu ke dekapannya, memeluk erat gadis itu hingga tangisan mereka berdua pecah.

"Luciana." Kataku ikut terharu.

• • •

Sekarang sudah hampir siang hari namun udara begitu teduh ketika matahari sembunyi di balik gumpalan awan sama halnya seperti perdesaan. Dan akhirnya aku memutuskan untuk duduk di bangku panjang yang terletak di perkarangan rumah Harry sambil menikmati desiran angin dan juga teh hangat yang baru di buat Harry.

"Graci." Kedatangan Harry menyadarkanku kembali ketika pria itu langsung duduk di sampingku dan merangkul. Belum lama Harry kembali, suara gelak tawa muncul ketika Niall dan Luciana datang bersamaan membawa beberapa kue kering.

"Kau harus mencobanya. Ini sangat enak." Niall mengambil tisu dan memberikan kue yang masih panas itu ke padaku.

Aku menerimanya sambil tersenyum. Saat aku ingin mencoba gigitan pertama, Harry langsung merebut kue milikku dan memakannya hingga habis sehingga aku hanya bisa menatapnya dengan jengkel. "Kau kan bisa mengambilnya, kenapa mesti memakan punyaku!" Kataku dengan sebal namun lebih menyebalkan ekspresi Harry saat ini.

"Kau tidak boleh memakan pemberian Niall. Aku cemburu." Mataku membulat mendengar perkataannya. Aku merasakan pipiku memanas seakan baru saja terbakar. Dan pada saat aku menoleh pada Luciana dan Niall untuk menjelaskan semuanya— mereka semua hanya tertawa.

Without A Name [EDIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang