𝐋𝐨𝐬𝐞

83 20 1
                                    

Aku berjalan ke ruangan besar bercat putih yang di penuhi dengan orang-orang berseragam hitam. Ruangan ini berada jauh di bawah tanah tak diketahui semua orang.

Semua orang disini rata-rata sibuk dengan melatih diri mereka dengan senjata-senjata canggih yang ia tidak pernah temui ataupun mencoba. Semuanya hebat, bahkan mereka bisa membidik sasarannya tepat pada kepala Mannequin tanpa melihat.

"Hey, Louis." Panggil George, pria yang membawaku berkeliling tadi berhasil menyadarkan kedatangan kami untuk Louis. Namun ia tidak berbalik ke arah kami. Ia terus fokus pada bidikan pistolnya sebelum akhirnya menarik pelatuknya dan 'dor' peluru itu berhasil menancap pada tengah diantara kedua mata Mannequin.

Ia mendesah dan berbalik. "Hey!"

"Aku mau memperkenalkan," George berbalik padaku kembali sebelum akhirnya, "Harry, aku sudah mengenalnya."

Aku tersenyum canggung ke arah Louis. "Ya, aku sudah pernah berteman dengannya." Kataku menjelaskan pada George yang ke bingungan.

"Wah, tau gitu aku tidak usah memperkenalkan kalian yah." Kata George yang tengah menggaruk tengkuknya.

Pria bernama Louis itu tertawa, ia mengelap keringatnya dengan kain yang menggantung di pundaknya. "Aku dan Harry belum berkenalan seutuhnya kok. Hey, Harry bagaimana kalau kita berkenalan ulang?" Ia menghampiriku, memperhatikanku dari atas kebawah sebelum akhirnya ia menyodorkan tangannya padaku. "Aku Louis Tomlinson. Panggil saja Louis."

Aku menjabat tangannya. "Aku Harry Styles. Harry."

Plok, plok, plok

Suara tepuk tangan menggelegar di ruangan besar seakaan membuat seluruh perhatian berpusat kepada pria gendut dengan kancing jas yang di paksa mengikuti pinggangnya. Aku mengenalnya persis pada saat terakhir kali ia berhadapan denganku. Ia Dave— masih terlihat sama ketika lagi ia memandangku jijik seakan aku kuman yang harus di musnakan.

Ia mendekat ke arahku sambil tersenyum remeh. "Harry, lihat betapa beruntungnya dirimu sekarang. Kau tampak hebat dengan jas itu." Seketika wajahku langsung memanas ketika kini semua orang memperhatikanku.

Pun Ketika aku ingin membalas perkataan Mr. Dave, Louis langsung mencegahku. Ia maju lebih dulu, menjauhkanku dari Mr. Dave.

"Kita bertemu lagi Mr. Dave. Hari ini kau tampak buruk ke lihatannya?" Louis memiringkan senyumnya.

"Haha, kau pandai bersimpatik Lou. Tapi nyatanya kurasa kita akan terus bertemu."

Aku memperhatikan mereka berdua. Dari kelihatannya mereka berdua memiliki dendam, sama-sama akan haus atas peran mereka sendiri. Dan yang ku tahu saat ini adalah Louis ada di kubu yang sama denganku dan Mr. Herbert yang berarti aku memiliki tujuan yang sama dengannya. Dan Mr. Dave adalah musuh yang harus ku hadapi.

"Semoga kau lebih mendapatkan untungnya daripada ruginya." Ejek Mr. Dave hingga membuat Louis tertawa.

"Sampai jumpa Harry. Aku senang melihatmu disini." Kata Mr. Dave lagi dan berlalu bersama anak buahnya yang botak.

Louis tersenyum ramah penuh arti pada Mr. Dave sebelum kembali padaku. "Jangan pedulikan ucapannya. Dia hanya cemburu denganmu." Aku mengangguk meski ada kata-kata yang menggangu pikiranku. "Aku akan mengajakmu ke suatu tempat. Kurasa kau akan menyukainya." Katanya sambil memasuki lift.

Saat tombol di tekan, tanda panah berwarna merah menyala menuju ke atas. Angka 60 bergerak lambat menuju angka 59, begitu seterusnya hingga semakin lama angka semakin mengecil. Tidak ada dari kami yang membuka suara sehingga ruangan persegi ini menjadi hening dan semua orang di iringi pikirannya tersendiri sampai angka lift bergerak menuju angka 2—denting bel berbunyi halus dan lift pun terbuka.

Without A Name [EDIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang