Aslinya update cerita ini di hari yang sama dengan Tax Included berasa ngajakin ribut.
Harusnya juga, ini ditamatin duluan sebelum repost tuh cerita, biar pas baca nggak ada prejudice soal tokoh-tokohnya, terutama ke Anda. Tapi apalah daya, kapasitas diri ini dalam menulis ada batasnya, wkwk.
Yaudah deh, komen aja yang banyak. Nanti 1 orang yang paling rajin komen kukasih voucher Karyakarsa senilai 5k. ❤️
10 | self-invitation
Setelah menolaknya seperti itu, Gera bersikap seolah Anda tidak pernah mengutarakan ajakan apa pun.
Sepanjang perjalanan pulang, juga saat berpapasan di rumah pada malam hari, cowok itu hanya bicara seperlunya—seperti sedia kala.
Terus terang Anda kecewa. Entah apa sebabnya, padahal dia tidak betulan memiliki perasaan pada si cowok.
Lebih aneh lagi, kekecewaan itu jadi kian besar tatkala keesokan paginya Gera tidak terlihat di meja makan. Melainkan hanya ada Devin di sana.
Land Cruiser hitam di carport juga sudah menghilang. Padahal sebelumnya Gera tidak pernah berangkat sepagi ini.
Cowok itu seolah sengaja menghindar.
"Temenmu berangkat pagi amat?" Anda bertanya pada Devin dengan nada ringan, berlagak tidak terlalu peduli meski dalam hati terasa seperti teriris-iris.
"Piket." Devin menjawab singkat tanpa repot-repot mengalihkan fokus dari makanan di piringnya.
"Cowok ada yang rajin piket juga?" Anda bertanya lagi.
Merasa pertanyaan itu tolol, Devin tidak berkenan menggubris.
Anda menghela napas panjang. Sudah biasa diabaikan. Dia lalu menarik salah satu kursi untuk diduduki.
Belum juga Anda mulai makan, Devin sudah selesai duluan.
Cowok itu menghabiskan sisa air minumnya. Lalu bangkit berdiri dengan piring dan gelas kotor di tangan. "Nggak usah lelet kalau makan. Lo berangkat sama gue," katanya seraya meletakkan cucian bekas makannya ke sink.
Kontan Anda melotot. "Ngapain? Aku naik ojek aja kayak biasa."
Tapi, sepertinya hari ini Anda harus banyak-banyak bersabar karena kemudian Devin melotot lebih galak. Tidak menerima tapi-tapian.
~
Motor yang dikendarai Devin berhenti tepat di depan gerbang sekolah, seolah sengaja membiarkan keramaian di sana melihat Anda turun dari boncengannya.
Anda hanya bisa pasrah.
Walau belakangan jalan pikiran Devin sulit dipahami, dia tidak punya pilihan lain. Cowok angkuh dan menyebalkan itu sudah terlanjur menjadi keluarganya, dan yang namanya keluarga tidak bisa dipilih-pilih.
"Nggak sekalian aja nganternya sampai depan kelas? Sampai bangku, kalau perlu?" Anda bertanya sarkas, sembari mengembalikan helm yang dipakainya ke Devin.
Tapi bahkan tanpa repot-repot menjawab, Devin sudah lebih dulu melesat ke parkiran.
Sungguh tidak tahu sopan santun, tapi lagi-lagi Anda tidak bisa memprotes. Soalnya, pertanyaan 'memangnya nggak diajarin sopan santun sama orang tua?' nggak berlaku untuk Devin—dan untuk dirinya. Dark truth: mereka berdua yatim piatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Priit, Kartu Merah!
Teen FictionRevanda sudah merasa nyaman dengan hidup 'tidak terlihat' selama dua tahun lebih di sekolah. Tapi mendadak namanya jadi trending topic pasca ketahuan berbohong: mengakui omnya sendiri sebagai pacar, hanya demi menolak Refi. Sekarang dia kalang kabut...