7 | personal hairdresser

8.1K 816 95
                                    


SEJAK TK, Anda sudah suka berdandan, memakai pakaian bagus, berjalan di catwalk, dan berpose di depan kamera.

Demi memfasilitasi hobinya itu, Mami mengubah salah satu ruang kamar di lantai dua sebagai studio foto. Lengkap dengan stand background, lighting yang memadai, softbox dan reflektor, serta kamera yang cukup bagus pada zamannya. Bahkan ada sudut dengan meja rias berpencahayaan bagus, serta cermin-cermin besar tempatnya bisa menjajal padu-padan pakaian-pakaian yang dia punya.

Mami juga pernah memasukkannya ke kelas modelling.

Tapi ... apalah artinya kalau seumur hidup dia tidak keluar dari Malang?

She's going nowhere. Stuck. Sepanjang tujuh belas tahun usianya, pencapaian terbesar hanya masuk katalog salah satu bridal MUA ternama. Itu pun bukan sebagai brand ambassador, atau model tetap yang dibawa ke manapun mereka mengadakan promosi keliling negeri. Melainkan hanya satu kali sesi foto, dengan fee sedikit di atas rata-rata yang biasa dia terima dalam satu kali event. And that's it.

"Nan, stop." Anda menutupi mukanya yang sedang disorot kamera, di balik layar acara pameran di salah satu mall pada hari Minggu pagi. Dia belum di-makeup. Masih antre. "Bikin vlog, nggak ada yang nonton juga. Capek ngeditnya."

"Kayak dirimu yang ngedit aja." Adnan menyahut enteng, karena memang dia yang mengerjakan semua post production.

Anda nggak bisa ngedit sama sekali, tapi punya tampang cakep dan suara bagus. Sementara Adnan, tampang ancur tapi cukup telaten memelototi Adobe Premiere Pro berjam-jam setiap hari. Dengan pembagian komisi 50:50, jadilah mereka sepakat bekerja sama.

"Justru itu. Mau dienakin nggak mau!"

"Ya udah, cover lagu aja."

"Capek ngehafalin lirik sama kunci gitarnya."

Adnan berdecak, mulai kesal. "Tau apa yang nggak capek bikinnya dan udah pasti banyak yang nonton?"

"Apa?"

"Video bokep."

Kontan Anda menabok mulut temannya seraya menoleh sekeliling, memastikan tidak ada yang mencuri dengar. "Goblok banget! Model video porno tuh minimal umur 18. Dibawah itu, jadi dobel dong, ilegalnya."

Adnan mengibaskan tangan sang teman dari mulutnya dan tertawa.

Tentu saja mereka nggak serius. Walau orang Indonesia gampang memaafkan publik figur yang terlibat skandal, mereka belum gila-gila amat. Anda serius dengan cita-citanya menjadi model profesional, dan nggak akan membiarkan hal bodoh menodai perjalanannya merintis karir.

"Ya udah lah, vlog aja. Views seribu-dua ribu juga lumayan buat menyambung hidup."

Anda tertawa suram, merasa mimpinya tampak seperti fatamorgana.


~


"Nan, itu anak sekolah kita, bukan?" Selesai acara yang mengharuskan Anda hampir tidak sempat duduk selama lima jam, dia menepuk pundak cowok di sebelahnya sembari menatap ke arah panggung di ground floor, tempat sekelompok remaja sedang melakukan sound check. "Ivanov. Anak IPS. Tetangganya Nunung. Iya, kan?"

Sepasang mata Anda berbinar-binar.

Ternyata, teman-teman Nunung bukan pelawak.

Dan bagusnya, malam ini mereka tidak memakai kostum fuchsia atau warna-warna gonjreng lainnya, melainkan pakaian normal dominan warna hitam.

Menyadari cowok yang dia tepuk pundaknya itu tak kunjung menjawab, Anda kemudian menoleh.

Alamak.

Segera dia meminta maaf karena salah tepuk.

Memang sialan si Adnan. Cowok itu sudah duluan berjalan jauh di depan.

Dengan langkah terseok-seok karena kaki mati rasa kebanyakan berdiri, segera dia susul temannya itu sebelum benar-benar meninggalkannya.


~


Sudah hampir jam sembilan malam ketika akhirnya taksi online yang Anda tumpangi membawanya dengan selamat sampai ke rumah.

Susah payah dia menggendong ranselnya menyeberangi halaman.

Memang, ranselnya tidak berat. Tapi seluruh kalori yang dia makan hari ini seperti sudah terkuras habis. Lebih parah lagi, kakinya terasa tidak menapak tanah. Jemarinya keriting kelamaan berhimpitan di ujung stiletto.

Begitu pintu depan terbuka dan tiba di ruang tamu, Anda langsung melepas jaket, merobohkan diri ke sofa terdekat. Menendang sandal jepit sambil merem dan berbaring untuk menyelonjorkan kaki yang rasanya mau copot. Dalam hati mengutuk diri sendiri yang kelamaan menganggur, hingga rasanya jadi semenderita baru pertama kali menjajal sepatu hak tinggi.

Saking sakitnya, dia hampir menangis.

"Dari mana, Neng? Kumel amat."

Suara Thomas.

Suara terakhir yang Anda harapkan.

"Kemarin-kemarin manggil 'shan', sekarang manggil kumel?" Anda membuka mata dengan enggan, baru menyadari ada keriuhan di ruang tengah.

Biasa. Paling teman-teman Devin sedang berkumpul.

Tak lama Thomas muncul di dekatnya, menatap ke arahnya, miris. "Abis ada acara? Dibayar berapa sih, kerja sampe kumel gini?"

Dibayar berapa? Anda memutar bola mata. Nggak dibayar asal namanya diingat duluan juga dia mau-mau aja. "Aku butuh jam terbang, Tom. Butuh ngisi porto."

Thomas duduk di dekatnya. "Kalau mau banyak kerjaan, ya pindah ke Jakarta, ikut si Mami. Di sini terus, selamanya bakal gini-gini aja."

"Udah tau. Jangan cerewet."

Thomas mendengus.

Anda mengabaikan tetangganya itu dan merem lagi. Merasa nggak sanggup naik ke kamar sekarang.

Tak lama kemudian, Thomas bersuara lagi, "Nggak apa-apa langsung tidur nggak pake bersihin muka dulu? Rambut juga masih kayak sapu gitu?"

Air mata Anda sampai hampir keluar mengingat rambutnya masih kaku bekas hair spray. Dan bisa-bisa panen jerawat besok pagi kalau bekas makeup nggak dibersihkan sebersih-bersihnya.

Sebuah langkah mendekat terdengar.

"Yaelah, jadi orang ngerepotin amat!"

Devin.

Dalam satu sentakan, kedua lengan Anda ditarik, dipaksa bangkit dari sofa, lalu diseret menuju kursi keramas.

Anda tersenyum tipis.

Syukurlah, di antara semua karakter buruknya, Devin ahli mengeramasi dan menghapus makeup cewek.


#TBC

[1/8/23]

Priit, Kartu Merah!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang