Chapter I: Cerita Rachel - Rumah Cat Putih dan Pagar Tinggi yang Menjulang

1.6K 46 2
                                    

Ting Tong.. Ting Tong..


Suara bel rumah berbunyi, aku berjalan ke arah depan sambil membuka sedikit gorden dan mengintip keluar.

"Maah, ada Ibu Sari maah.." teriakku dengan kencang.

"Ya sudah buka pintunya, suruh masuk nak!" balas mama yang sedang berada di dapur.

Aku langsung membukakan pintu rumah dan aku suruh Ibu Sari masuk. Ternyata Ibu Sari datang bersama suami dan anaknya yang masih kecil yang tengah tertidur pulas.

"Bapaknya ada dek?" tanya Pak Reza, suami Ibu Sari.

"Papa lagi ke balai desa om."

"Kalau mamamu?" kali ini tanya Ibu Sari dengan pelan.

"Kalau mama ada tante. Masuk dulu tante, om. Duduk dulu ya. Rachel panggilkan mama." balasku yang langsung pergi ke dapur menemui mama.

***

"Itu ma, Ibu Sari sama Pak Reza sudah nunggu."

"Sama suaminya? Mau ngapain ya?" jawab mama bingung.

"Nggak tahu ma, malah bawa anaknya juga kok."

"Ya sudah, mama datangi mereka dulu ya nak. Jangan lupa buatkan mereka minum."

"Oke ma."

Mama langsung bergegas menuju ruang tamu untuk menemui Ibu Sari dan Pak Reza. Sedangkan aku langsung sibuk memanaskan air untuk membuat teh. Ibu Sari dan Pak Reza adalah tetangga rumah yang rumahnya berada persis di samping kiri rumahku dengan cat warna putih dan pagar tinggi yang menjulang.

Setiap mama bertamu ke rumah Ibu Sari, aku selalu menyempatkan diri untuk ikut karena aku sangat menyukai rumahnya. Bagian dalam rumahnya begitu luas, apalagi lampu gantung di ruang tamunya yang begitu bagus dan bercahaya.

***

Aku berjalan pelan sambil membawa baki yang berisikan gelas-gelas yang terisi teh untuk Ibu Sari dan Pak Reza. Sesampainya di ruang tamu ternyata ada papa yang sudah datang dari balai desa.

"Aduh nak Rachel, nggak usah repot-repot." imbuh Ibu Sari yang melihatku menaruh teh di atas meja.

"Nggak kok tante." jawabku singkat.

"Silahkan diminum dulu pak, bu." sahut papa ke Ibu Sari dan Pak Reza.

Mereka berdua pun meminum teh dengan nikmat, setelah selesai meminum teh, Pak Reza bertanya kepadaku.

"Nak Rachel sudah kelas berapa?"

"Kelas enam SD om."

"Wih sebentar lagi SMP ya."

"Iya om." balasku sambil cengengesan dan ndusel-ndusel ke mama.

"Ini mau SMP masih aja manja sama mamanya.. Duh." ujar mama sambil tertawa dan diselingi oleh seluruh orang yang ada di ruang tamu ini.

"Biarin bu, tandanya kan sayang sama ibunya."

Mama hanya tertawa mendengar balasan dari Ibu Sari.

"Sayang ya, tante nggak bisa lihat nak Rachel lagi."

Aku yang bingung mendengar ucapan Ibu Sari ini mencoba bertanya,

"Emang tante mau kemana?"

"Ibu Sari sama Pak Reza mau pindah nak." balas papa kali ini yang coba menimpa pembicaraan.

"Pindah? Kok pindah? Kan baru sebentar disini?" ujarku dengan rasa ingin tahu yang tinggi.

"Om dapat pekerjaan di luar kota nak Rachel. Kasihan istri om sama Raka, masa om tinggal terus?" balas Pak Reza.

Aku hanya membalas dengan anggukkan dan tidak terlalu memikirkan kepindahan mereka. Bahkan setelah pertanyaan itu, mereka semua malah asyik berbincang-bincang. Aku lantas meninggalkan mereka semua karena aku bosan dengan situasi seperti itu. Hingga akhirnya aku kembali lagi ke ruang tamu karena Raka, anak Ibu Sari dan Pak Reza menangis kencang. Aku mencoba menghiburnya karena aku sangat menyukai anak kecil. Namun suara tangisannya malah jauh lebih keras dari sebelumnya.

"Duuh, pengen susu ini berarti. Ya udah deh bu, saya pamit dulu ya. Terima kasih untuk semuanya."

Mereka semua saling bersalaman dan berpamitan termasuk aku yang juga ikut menyalami mereka. Di saat itulah terakhir kali aku melihat Ibu Sari, Pak Reza dan Raka. Karena keesokkan harinya rumah mereka telah sepi. Buru-buru sekali ya?

***

Ketika aku perlahan beranjak dewasa dan mulai menyenangi pembicaraan, aku lantas mencoba bertanya kenapa dulu Ibu Sari dan Pak Reza pindah karena mereka kurang lebih baru enam bulan tinggal di rumah itu. Mama bercerita kalau Raka, anaknya sering menangis setiap malam.

Memang benar sih, karena tiap malam kadang-kadang aku mendengar suara tangisan bayi. Dulu aku heran dari mana sih datangnya suara tangisan itu? Sampai pada akhirnya papa bilang kalau itu suara tangisan anaknya Ibu Sari. Karena kamarnya bersebelahan persis dengan kamarku. Hanya tembok tipis yang memisahkan kamarku dan kamar anaknya.

Kadang sepulang dari sekolah aku melewati depan rumah Ibu Sari ini. Kulihat sudah muncul banyak rumput liar, cat putihnya yang sudah mulai menguning dan pagarnya yang mulai dimakan karat.

"Padahal kalau aku punya uang, aku bakalan beli rumah ini. Biar bisa digabung sama rumahku." isengku mengkhayal.

Tidak pernah terbayangkan olehku mengapa Raka sering menangis tiap malam sampai akhirnya aku menyadari di kemudian hari..


Di Antara Rumah yang KosongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang