Prolog

322 81 69
                                    

Mata Reina menelisik ke penjuru gedung. Senyumnya terbit kala mengingat bahwa janjinya telah ia penuhi. Baginya, lima tahun bukanlah waktu yang lama. Rasanya baru kemarin ia bertemu dengan pria itu. Bagaimana ia bertengkar dan saling mengolok. Mungkin inilah yang disebut sebagai takdir, sebuah takdir yang tidak dapat dihindari oleh siapapun.

"Reina, kamu sudah siap, Nak?" pertanyaan itu membuatnya beralih. Matanya menangkap seorang wanita paruh baya yang ia sebut sebagai mama. Wanita yang telah melahirkan dan membesarkan sosok pria yang usil serta tidak bisa diam. Namun dengan sifat usilnya itulah yang membuatnya dekat dengan Reina.

"Mama, Rein hanya sedikit gugup," jawabnya jujur.

"Tidak apa-apa, Nanti setelah acaranya selesai, kamu pasti lega."

Tanpa disadari, air mata wanita itu jatuh. Entahlah, dadanya terasa disesaki oleh perasaan yang campur aduk dan dijejali ribuan keraguan yang mulai menggerogoti kepercayaannya. Ia takut, takut jika nanti akan mengecewakan semua orang di dalam hidupnya.

"Ma, yakinkan aku," ucapnya mulai sesenggukkan.

"Kamu harus yakin pada hatimu sendiri. Yakinkan hatimu, seperti kamu yakin pada cintanya," Mama menunjuk seorang pria yang berdiri di tengah para tamu, lalu beliau menunjuk ke atas, "seperti kamu yakin pada cinta-Nya."

Reina tersenyum mendengar ucapan Mama. Beliau selalu bisa menenangkan Reina. Sama halnya dengan bunda. Kedua wanita itu selalu mendukungnya dalam keadaan apapun. Reina jadi teringat peristiwa lima tahun yang lalu, dimana ia sangat terpuruk. Mungkin saja jika bunda dan mama tidak ada, Reina tidak akan mampu bertahan sampai sekarang. Gadis itu mungkin akan berakhir di rumah sakit jiwa atau bahkan bisa saja dia meninggal saat itu.

Gadis itu berjalan menunju tengah aula. Menemui seorang lelaki yang sedang menunggunya. Di sekeliling lelaki itu terdapat beberapa orang. Bunda juga berdiri di sana seraya tersenyum penuh harap menatap putrinya. Putri kecil yang dulu sering menangis karena hal sepele, kini sudah siap untuk menempuh hidup baru. Orang tua mana yang tidak akan merasa haru ketika melihat buah hati mereka tumbuh dengan baik. Itulah yang dirasakan oleh Bunda Reina. Melihat putrinya bahagia merupakan sebuah kebanggaan besar yang pernah ia dapat.

Bayangan tentang peristiwa lima tahun lalu terus berputar di benak wanita paruh baya itu. Jika saja saat itu ia terlambat, jelas ia tidak akan bisa menyaksikan kemegahan acara hari ini. Jika lima tahun lalu air matanya jatuh karena sengsara, hari ini bulir itu menetes karena adanya bahagia yang menyesakkan dada. Bahagia yang begitu kuat hingga ingin meledakkan setiap persendiannya.

"Bunda, Reina gugup," ucap Reina ketika sang bunda datang untuk memeluknya.

"Bunda yakin kamu bisa."

"Terima kasih, Bunda. Selama ini Bunda selalu ada untuk Reina."

"Bunda yang harusnya terima kasih sama kamu. Terima kasih sudah menjadi anak Bunda yang kuat."

Suasana haru melebur bersama kenangan lama yang terputar kembali. Selanjutnya, Acara berlangsung dengan baik. Bahkan ekspektasi Reina tidak sampai seperti ini. Setelah acara inti selesai, potret-potret lama sengaja ditayangkan di layar yang sudah disediakan oleh teman-teman Reina. Kebersamaan mereka semasa SMA, dan potret kebahagiaan lain yang terabadikan lensa. Ternyata keputusannya untuk bertahan adalah benar. Sekarang semua terasa berarti setelah apa yang terjadi. Semesta memiliki cara tersendiri untuk menyembuhkan luka. Entah dengan menjahitnya, atau secara paksa menjejalinya dengan bahagia. Yang jelas sekarang Reina dapat mengerti apa itu bahagia.

"Reina, gue gak nyangka akhirnya hari ini tiba juga," ucap Vita hiteris sambil memeluk sahabatnya.

"Lo cepetan nyusul, jangan cuma ngegantung dia aja. Kalian tuh dah sama-sama dewasa," Ucap Reina mengingatkan hubungan Vita dengan seseorang yang saat ini tengah berbincang menikmati acara bersama teman-teman yang lain.

"Iya, deh iya. Gue usahain cepet nyusul. Noh Naura juga suruh nyusul!"

"Lah kok gue?"

"Iya lah. Lo kan juga udah resmi ama dia."

Reina tersenyum mendengar perdebatan kedua sahabatnya. Iya, mereka bertiga memang selalu adu mulut seperti ini namun, hal itu juga yang membuat mereka selalu bersama sampai sekarang.

"Rei, bahagia terus, ya. Jangan kaya dulu lagi," Ucap Naura yang kini serius menatap manik mata sahabatnya.

Reina tidak langsung menanggapi ucapan sahabatnya itu. Jujur saja jika dikatakn sedih, ia masih sedih akan masa lalunya. Tapi sekarang ia sudah memiliki seseorang yang bisa menariknya menuju kebahagiaan. Tentu ia tidak akan menyia-nyiakan itu semua. Kebahagiaan yang telah dirancang Tuhan untuknya tidak akan pernah ia sia-siakan lagi. Sudah cukup keterlambatannya kala itu, ia tidak mau mengulangi hal yang sama.

"Iya, Ra. Gue akan bahagia. Gue emang gak akan bisa ngelupain masa lalu gitu aja, tapi bukan berarti masa lalu akan menjatuhkan gue juga."

"Gini, ya ternyata orang kalau udah mau jadi istri tuh," Seloroh Vita sambil menampilkan seringaiannya.

"Gue masih tunangan, ya Vit!" Jawab Reina meralat omongan Vita.

"Iya, sekarang tunangan. Kan setengah tahun lagi bakal resmi."

Reina hanya memasang muka masam yang dibuat-buat. Perasaan gugup kembali menyerangnya. Iya, kalau lima tahun saja bukan waktu yang lama, apalagi hanya setengah tahun. Reina bergidik ngeri membayangkan betapa gugupnya ia saat hari itu tiba.




Halo.... Sebenarnya ini cerita pertama aku yang pernah aku publish beberapa tahun yang lalu. Tapi karena suatu hal, ceritanya aku hapus. Enggak tahu kenapa tiba-tiba kepikiran buat publish lagi. Buat kalian yang nggak sengaja mampir atau dulu udah pernah mampir dan ngerasa 'kok familiar?'

Iya, ini cerita aku ganti judul tapi tokoh nya tetap sama dan ada beberapa alur yang diubah. Selamat membaca ^_^

See you next part......

KarmaoloveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang