Part 8 - Memaafkan Belum Tentu Melupakan

15 5 5
                                    

🎈🎈🎈

HAPPY READING GUYS!

***

Gadis bersurai hitam yang masih terbaring lemah beberapa hari yang lalu, kini sudah mampu menarik garis senyum di bibirnya. Meski tengkuknya belum pulih seperti semula, setidaknya rasa nyeri itu kian berkurang.

Nayla masih setia menunggunya, mencoba untuk menghibur gadis yang tak patut untuk sakit itu, agar mencoba untuk memaafkan kesalahan mantan dari gebetannya.

"Udahlah, lo maafin aja dia. Nggak boleh musuhin orang lebih dari tiga hari," nasihat Nayla yang langsung membuat bola mata sahabatnya itu berotasi.

"Gue nggak salah apa pun sama dia ya, Nay. Ngapain gue juga yang dijadiin sasaran sih? Samsak lebih kuat kali. Ngajak ribut di gelanggang emang." Airis menjawabnya dengan penuh emosi.

Nayla menggelengkan kepalanya melihat Airis yang sangat tidak patut dikatakan sakit. "Inget, lo tuh masih sakit. Nggak usah sok-sokan ngajak ribut di gelanggang."

"Ya nanti lah pas gue udah keluar dari sini. Lo tau nggak sih, gue gabut tahu pas kalian sekolah. Lihat TV acaranya gitu-gitu aja."

Nayla hanya menahan senyumnya saat mendengar keluhan dari Sang sahabat, kemudian menarik kursi di samping brankar Airis. "Sekarang nikmatin dulu istirahat lo di sini, nggak usah kebanyakan ngeluh. Siapa tahu nanti Kak Dika njenguk ke sini."

Mendengar nama Dika, wajah Airis langsung berbinar. Membuat Nayla memandangnya datar. "Aamiin aamiin Ya Allah haha."

Tiba-tiba suara pintu terbuka terdengar, spontan keduanya pun langsung menoleh dan melihat seseorang yang baru saja mereka bicarakan.

"Kak Dika..." lirik Airis membuat Nayla menoleh ke arahnya dengan wajah keheranan yang sama.

Dika juga memandang keduanya kebingungan, pasalnya saat membuka pintu, kedua gadis itu sudah memandangnya aneh. "Ke... napa?" tanyanya dengan sebelah alis terangkat.

Kedua gadis itu segera menggelengkan kepalanya seraya tersenyum canggung. "Nggak kok, Kak. Masuk masuk." Nayla mempersilakan Dika dengan Airis yang memasang senyum termanisnya. Tapi boong.

Saat Dika mencoba untuk masuk, ternyata ia tidak sendiri. Di belakangnya ada seorang gadis yang tiba-tiba saja membuat mood Airis hancur. Ia mengalihkan pandangannya dari Dinda yang menundukkan kepala takut dengan langkah kaki yang sangat pelan.

"Udah sana," suruh Dika kemudian duduk di sofa pojok kamar inap milik Airis.

"Tap... tapi kak," tahannya dengan wajah yang penuh kekhawatiran.

"Niat lo ke sini mau ngapain tadi? Yaudah sana." Dinda menggigit bibir bawahnya kemudian berjalan menuju brankar Airis. "Ris," panggilnya sangat pelan.

"Emm gue ke sana dulu ya," pamit Nayla kemudia mempersilakan Dinda untuk duduk di kursinya tadi.

"Ris, maafin gue ya." Dinda meremas jari-jarinya sebagai pelampiasan rasa yang sudah campur aduk di hatinya.

Airis hanya tersenyum sinis tanpa memandang ke arah Dinda. "Haha buat apa?" gumamnya.

Dinda memejamkan matanya dan menarik napasnya panjang, "Iya gue tahu gue salah, dan maaf memang nggak bisa ngembaliin keadaan seperti semula."

Airis menatap Dinda yang masih menunduk dalam. "Kalau tahu kayak gitu, ngapain ngelakuin hal menjijikkan itu?" tanya Airis masih dengan senyum sinisnya. "Bodoh!"

Tanpa diketahui, tiba-tiba air mata Dinda mengalir di pipinya. Namun, melihat hal itu, Airis malah semakin jijik dengan Dinda. Tidak ada rasa belas kasihan sedikit pun untuk Dinda. "Lo ngapain nangis? Lo kira dengan nangis gue bakalan maafin lo, gitu? Haha mustahil. Daripada di sini lo cuma buang-buang air mata penyesalan, mending lo keluar dari ruangan ini. Nggak usah mohon-mohon. Karena kalau gue mau maafin, tanpa lo minta sekalipun, gue bakal maafin. Tapi gue rasa nggak untuk saat ini. So, tunggu apa lagi? Pintu terbuka lebar buat lo keluar. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk melihat keadaan saya."

Nayla dan Dika tercengang dengan penuturan Airis yang begitu menusuk. Nayla mencoba untuk beranjak, namun Dika menahan lengannya dengan menarik lengan baju gadis itu. Nayla menoleh menatap bingung ke arah Dika, namun Dika hanya menggelengkan kepalanya.

Dinda mengusap air matanya sembari mencoba untuk tersenyum, "Makasih banyak, Ris, lo udah ngasih gue sebuah pelajaran yang belum tentu orang lain dapatkan. Semoga lo cepat sembuh. Permisi." Dinda beranjak kemudian melangkahkan kakinya menuju pintu. "Kak, Nay, gue pamit, ya." Keduanya hanya menjawab dengan anggukan saja. Membiarkan Dinda keluar dengan tangis yang masih menghiasi wajahnya.

Setelah tubuh Dinda benar-benar menghilang di balik pintu, Nayla dan Dika mencoba untuk mendekati Airis yang memandang kosong ke arah jendela yang menampakkan langit mendung.

"Ris," panggil Dika pelan. Kemudian memilih duduk di sampingnya. "Gue tahu lo masih nggak terima dia jadiin lo sasaran hanya karena Hidan. Tapi, bukannya memaafkan jauh lebih baik?" katanya sangat pelan. Mencoba untuk menjaga perasaan Airis.

Nayla hanya berdiri di sebelah Dika dengan diamnya. Seakan tahu bahwa hanya Dika-lah yang saat ini mampu menenangkan Airis yang sedang bergejolak.

"Iya gue tahu kok, kak, kalau memaafkan jauh lebih baik. Tapi jika itu tidak ikhlas apa semuanya terselesaikan. Memaafkan memang mudah, namun tidak untuk melupakan." Dika hanya menagangguk dalam diamnya. Memahami bahwa Airis masih belum mampu menerima kejadian bodoh itu.

Memang benar jika memaafkan memang mudah, namun tidak untuk melupakan. Terkadang seseorang akan langsung ingat dengan kejadian masa lalu ketika ia melihat sang pelaku. Dan mungkin mengikhlaskan yang telah berlalu jauh lebih baik.

🎈🎈🎈

Hallo Selamat Malam Minggu temen-temenku🎊

Airis balik lagi nih buat menemani malam Minggu kalian yang gabut itu. Haha
Daripada keluyuran nggak jelas 'kan lebih baik ketemu sama Airis haha

Semoga suka ya,
Semoga ada yang bisa diambil dari cerita ini.

Selamat membaca.
See u❣️

_____

-Salamku, Nighty ✨-

Dia atau DirinyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang