Part 12 - Perihal Cinta

9 2 0
                                    

🎈🎈🎈

Rasa cinta itu tidak menuntut kita untuk harus memiliki apapun saat ini juga. Tetapi, rasa cinta itu mengajarkan kita untuk sabar menunggu sampai waktu yang telah ditentukan oleh Tuhan.

-Handika Rendy Ananta-

***

Hidan sudah bersandar di dinding rumah Dika setelah ia mengikuti Dika dan Airis sampai di restoran. Ia merasa yakin bahwa Dika tidak akan neko-neko karena Dika bukan tipe orang yang seperti itu.

Selang hampir satu jam, suara motor milik Dika menggema mengisi penjuru perumahan. Hidan pun langsung menegakkan badannya dengan kedua tangan yang ia lipat di depan dada.

Setelah sampai di halaman rumahnya, Dika menautkan alisnya bingung melihat sahabatnya yang berdiri dengan wajah datarnya. Lantas Dika melepas helm full face-nya dengan mata yang masih memandang Hidan heran.

"Ngapain lo?" tanyanya seraya berjalan ke arah Hidan.

"Lo yang ngapain pulang sama Airis?" tanya Hidan balik.

Dika kembali menautkan kedua alisnya. "Loh, terserah gue dong. Emang lo siapa?" Dika menatap Hidan dengan sepele. Hidan hanya diam dengan tatapan mata yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Setelah beberapa menit tidak ada suara yang keluar dari mulut Hidan, Dika menggelengkan kepalanya sambil terkekeh pelan. "Lo cemburu?" Hidan mengalihkan tatapan dari Dika. Dika menepuk pelan pundak Hidan, "Airis tadi cerita sama gue kalau dia masih suka sama lo."

Hidan menoleh dan menatap Dika bingung. "Terus kenapa?"

"Gini, gue cuma mau saranin aja. Jangan sampai lo nyesel sama waktu."

"Maksud lo apa sih? Gue nggak paham." Hidan menggelengkan kepala dengan mata yang masih memandang Dika penuh tanda tanya.

"Kalau lo suka juga sama Airis, perjuangin. Jangan sampai lo nyesel ketika ada tangan lain yang menggandeng dan mengisi ruas jarinya. Ingat! Waktu bukan Oreo." Dika tersenyum singkat kemudian berjalan menuju kursi yang berada di depan rumahnya.

Hidan hanya diam. Tidak membalas ucapan Dika sedikit pun. Matanya menatap lurus ke arah motornya yang terparkir rapi sejak tadi. Ia mengembuskan napas lelah dengan mata yang ikut memejam. Setelah beberapa saat ia menoleh ke arah Dika yang sibuk memandang poselnya.

"Terus apa yang harus gue lakukan?" tanyanya seakan lelah dengan semuanya.

Dika mengalihkan pandangannya ke arah Hidan kemudian menaruh ponselnya di atas meja yang berada di sampingnya. "Ini nggak rumit jadi jangan masang wajah memelas kayak gitu," balas Dika membuat Hidan menatapnya sinis. "Rasa cinta itu nggak nuntut kita untuk harus memiliki apapun saat ini juga. Nggak, bukan kayak gitu. Tapi, rasa cinta itu mengajarkan kita buat sabar menunggu sampai waktu yang telah ditentukan Tuhan," jelas Dika membuat Hidan berjalan menyusulnya.

Setelah duduk di samping Dika, Hidan menundukkan kepala dengan kedua jari yang bertautan. "Jadi, gue cuma suruh nunggu sampai waktu itu datang?" tanyanya lagi dengan kepala yang masih tertunduk dalam.

Dika tersenyum. Ini adalah momen langka bagi siapa pun. "Ya nggak gitu juga kali. Lo SMA jangan-jangan cuma kelas aja bukan otak."

"Gue nanya beneran ini. Gue nggak mau salah kayak kemarin."

"Sekarang jangan mikir kayak gitu dulu. Lebih baik lo mikir sekolah lo yang bener dulu, nanti bisa kuliah dan dapat pekerjaan yang layak. Biar nanti pas waktu itu udah datang, lo udah siap menerimanya."

Hidan menoleh dan memandang Dika lama. Berpikir tentang kalimat yang baru saja Dika ucapkan. "Memantaskan diri." Baru saja Hidan ingin berbicara, Dika sudah memotongnya lebih dulu. Membuat wajah Hidan berubah kesal.

"Lo nggak tertarik buat pacaran?" tanya Hidan tiba-tiba.

Dika menautkan alisnya bingung dengan pertanyaan Hidan yang sudah lama tidak mereka singgung. "Ngapain nanya kayak gitu lagi? Lo lupa sama jawaban gue dulu?"

Hidan menggelengkan kepalanya. Ia masih ingat betul bahwa Dika tidak akan menyia-nyiakan masa mudanya untuk hal tidak penting. Dan salah satu hal tidak penting yang masuk ke dalam list Dika adalah pacaran. Baginya pacaran hanya akan membuang waktu berharganya. Menjadikannya boros dan terkekang karena harus mengabari di mana pun dia berada. Tetapi, dia tidak menuntut orang lain untuk satu pemikiran dengannya. Karena setiap orang memiliki filosofi hidup yang berbeda-beda.

Dika menegakkan badannya, "Oke. Mungkin bukan sekarang gue bareng-bareng sama Airis, but someday," monolognya yang membuat Dika kembali tersenyum tipis. "Ya udah gue mau balik. Thanks buat motivasinya. Semoga lo nggak jatuh cinta juga sama Airis. Gue nggak tahu lagi kalau itu sampai terjadi. Gue males saingan sama lo," katanya yang membuat senyum tipis Dika berubah menjadi gelak tawa.

"Yang jelas gue nggak tahu takdir Tuhan," jawab Dika kembali membuat Hidan memandangnya sinis. Kemudian ia bangkit dari kursi dan berjalan ke arah motornya untuk memakai helmnya dan pulang.

🎈🎈🎈

Hallowwww
Ketemu lagi sama Hidan dan Dika hari ini.
Seneng nggak? Ehehe

Di part ini banyak motivasi yang keluar dari Dika. Semoga ada yang bisa kalian ambil sebagai motivasi juga😅

Semoga suka❤️
Sorry for typos:)

____

-Salamku, Nighty ✨-

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 10, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dia atau DirinyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang