Katanya, jika dalam satu hati diisi oleh dua nama orang yang sama-sama kita cintai, tanpa sadar kita telah menyakiti salah satu dari mereka. Apakah benar?
__________
Copyright 2019
By: bulankertas with Ichayy_
Sinar matahari begitu terik. Langit begitu biru dengan semilir angin yang jarang. Hal itu menimbulkan peluh menetes di pelipis Airis yang tertutup hijab hitam. Saat ini ia sedang menunggu Nayla untuk berangkat latihan silat seperti biasa. Namun hampir setengah jam menunggu belum ada tanda-tanda kedatangan Nayla.
Hingga akhirnya matanya menangkap sebuah motor Vixion putih berjalan ke arahnya. Airis sudah tahu siapa pengendara itu, namun ia memilih untuk bersikap tak acuh.
Motor Vixion putih tadi berhenti tepat di depannya membuat Airis mau tidak mau harus mendongak dan memandang sang pengendara yang tidak memakai helm.
"Lo mau ke mana?" tanyanya yang Airis yakini hanyalah basa-basi.
"Mau silat. Lo ga lihat ya?" jawab Airis santai dengan wajah datarnya.
Sang pengendara itupun hanya terkekeh pelan. "Iya mau silat ke mana?"
"Ke lapangan deket SMP situ."
Hidan mengernyit dalam. "Emang biasanya di situ?" Airis hanya menjawab dengan anggukan. Sungguh ini pertanyaan yang sebenarnya tidak butuh jawaban, batin Airis malas. "Yaudah gue antar aja. Lo nunggu siapa emangnya?" Pertanyaan yang keluar dari bibir Hidan membuat mata Airis membola. Benarkan Hidan akan mengantarnya?
Jujur jika seperti ini pertahanan Airis akan benar-benar runtuh. Sudah susah payah membangun agar terlihat tak acuh namun dengan pertanyaan seperti itu saja jantung Airis sudah tidak normal.
"Eh lo nungguin siapa? Ngapain bengong?" Hidan melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Airis yang masih memandangnya.
"Eh ini, anu nungguin Nayla tapi gak datang-datang padahal udah lewat jam. Gue juga takut telat sih," jujurnya membuat Hidan tersenyum. Sumpah kalau seperti ini benar-benar akan hancur pertahanan Airis yang sejak tadi ia bangun.
"Makanya biar gue antar aja, sekalian gue mau beli makanan burung," jelas Hidan membuat Airis memandangnya sedikit kaget.
"Burung? Burung siapa?" tanyanya heran.
"Burung gue lah mau siapa lagi."
"Hah?" Airis membuka mulutnya tak percaya.
Ini maksudnya gimana sih?
"Itu loh burung di depan rumah," lanjut Hidan yang sepertinya menangkap kesalahpahaman Airis. "Udah ayo naik, biar nanti Nayla gue kabarin."
Akhirnya mau tidak mau Airis mengangguk dan berjalan mendekati motor besar Hidan. Namun, belum sempat menaiki jog bagian belakangnya, tiba-tiba suara cukup nyaring mengisi telinganya. Dan ternyata itu alarm yang ia pasang pukul setengah dua sebelum ia berangkat silat.
Dengan mata yang masih lengket, tangan Airis meraba kasur untuk mencari ponselnya yang berada tidak jauh dari posisi tidurnya. Setelah mendapatkannya, lantas ia mematikannya. Dengan malas ia mencoba untuk bangun dan duduk di atas tempat tidurnya.
"Gila cuma mimpi," gumamnya kesal. "Pantes aja tu orang perhatian banget sama gue, ternyata mimpi lebih indah dari kenyataan." Setelahnya ia beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap untuk pergi latihan silat.
***
"Kesel banget gue, sumpah," adunya pada Nayla yang sudah tak bisa menghentikan tawanya ketika mengingat kekesalan Airis saat menceritakan mimpinya yang indah tadi. "Lo pernah kayak gitu gak sih, Nay?" tanyanya memelas.
Nayla diam, mencoba mengingat-ingat apakah ia pernah mengalami hal yang sama dengan Airis atau tidak. Namun, ia benar-benar lupa saat ini.
Nayla menggeleng. "Gak tau, lupa gue." Airis pun memanyunkan bibirnya membuat Nayla semakin terbahak.
"Eh Aji udah datang tuh." Nayla menyenggol lengan Airis. Airis pun mengikuti arah pandangan Nayla. Dan benar saja, Aji, salah satu teman silat baru mereka datang. "Tapi jangan deng, buat gue aja. Lo mah udah banyak. Siapa-siapa lo anggap milik lo sih," ujar Nayla. Sedangkan Airis sudah memasang wajah super PDnya. Alhasil Nayla pun hanya menggelengkan kepalanya.
"Hai assalamu'alaikum," sapa Aji membuat keduanya ikut menjawab salam. "Pak Rahman belum datang?" tanyanya kemudian duduk agak jauh dari mereka. Biasa menjaga jarak biar tidak terjadi ikhtilath.*
"Belum, padahal bentar lagi masuk," jawab Nayla. Aji hanya mengangguk saja.
Selang beberapa menit yang mereka isi dengan obrolan ringan, Pak Rahman yang menjadi pelatih mereka pun datang. Dan tak lama kemudian latihan pun dimulai.
"Nay, lo tau gak, masa ya Hidan kemarin lusa nanya ke gue gimana nasib motor gue bukannya nanyain gue pulang sama siapa. Dasar bocah!" kata Airis menggebu. Saat ini mereka sedang duduk di bangku sekitaran taman kota. Jam pulang latihan hari ini tidak cukup sore, karena Pak Rahman sendiri yang ada acara saat pukul 16.00 WIB.
Nayla tertawa sembari menggelengkan kepalanya. "Gue rasa sih cuma modus itu mah. Terus lo balas gimana?"
"Ya gue bilang baik-baik aja. Udah diurus sama montir kenalan Papa. Dan dia cuma bales oh oke, udah gitu doang. Maksudnya apa coba, nyebelin banget tu orang," jelas Airis penuh kekesalan.
"Terus kalau disuruh milih, lo bakalan milih Hidan atau Kak Dika?" tanya Nayla santai. Namun membuat Airis terdiam.
🎈🎈🎈
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Si Pemimpi Indah
*) Ikhtilath: Campur baur antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya.
***
Selamat Pagi!!! Airis balik lagi nih🥳
Maaf karena up-nya lama:D Semoga suka ya. Thank You❤️