Bisa, kan? Bisa, lah.

29.6K 3.2K 74
                                    

Arin menutup pintu dengan lemas. Selain kelelahan, dirinya pun tidak bisa merasa tenang sejak melihat Arland di stasiun. Sepanjang perjalanan ia bahkan memikirkan berbagai pertanyaan yang berhubungan dengan pria itu.

Sedang apa Arland di Jakarta?

Benarkah hanya seorang diri?

Dokter bilang aku sudah sembuh, tapi kenapa begitu melihat Arland lagi, bayangan masa-masa itu teringat kembali?

Arin menggeleng tidak sabar. Ia mungkin hanya terlalu letih. Sehingga apa yang dilihat di stasiun membuat cemasnya berlebihan.

Semua akan baik-baik saja. Katanya dalam hati. Arland tidak akan mengusik. Latan tidak akan tahu. Semuanya akan tetap normal. Ya, pasti begitu.

"Yang, aku pulang," kecap Arin seraya melepas sepatu.

Ia berjalan ke ruang tengah dengan pandangan berkelana. Hidungnya mengendus-endus, sementara kakinya yang telanjang merasakan lantai dengan seksama. Ia cukup terkejut dengan keadaan apartemen sore ini. Bukan hanya lebih rapi. Aromanya pun sangat membuat nyaman. Bunga jasmin yang diracik dalam bentuk pengharum ruangan itu membuat Arin lebih rileks.

"Yaaang." Ia memanggil nama suaminya sampai tiga kali. Karena tidak ada jawaban, ia berinisiatif memasuki kamar setelah menaruh tas dan goodie bag bawaannya.

Rupanya Latan masih terlelap di atas kasur. Lelaki itu nampak tengkurap sambil memeluk guling. Kaosnya tersingkap hingga perut. Celana pendeknya pun demikian, terbuka hingga pahanya yang berbulu tipis tereskpos sempurna. Ponsel tergeletak di atas kepala. Barangkali tadi tergeser ketika Latan selesai menelpon Arin sambil ketiduran.

Senyum di bibir Arin merekah. Ia mendekat ke arah lelaki yang dicintainya itu, kemudian ikut merebah. Iseng, ia memainkan telunjuk di wajah Latan. Mulai dari
dagu yang ditumbuhi beberapa helai rambut, bibir merah yang sedikit terbuka, rahang tegas yang dihinggapi dua jerawat, hidung yang di pangkalnya terdapat satu tahi lalat kecil, mata yang mengatup rapat, hingga jidat yang dihiasi anak rambut.

Arin terkekeh sebab Latan menggeliat. Terusik oleh sentuhan sang istri.

"Kiss me, please," ucap Latan yang tiba-tiba bangun.

Arin tersenyum kecil. Ia menangkup wajah Latan lalu mendaratkan kecupan singkat di bibir.

"Balik kapan?"

"Barusan." Arin mengusap-usap rambut Latan. "Kamu beneran ngerjain semuanya sendiri?"

Latan mengangguk, Arin tersenyum lagi.

"Makasih, Sayang."

"Makasih saja?"

"Apa lagi emang?"

"Itu." Latan mengisyaratkan Arin untuk melihat ke arah payudaranya.

"Aku punya tawaran lebih menarik."
Arin mengelus lembut dagu Latan. Kemudian tersenyum menggoda. "Kamu dari pagi belum mandi, kan? Mau bareng, nggak?"

Kalau Arin sudah bicara demikian, Latan harus langsung beringsut. Istrinya ini tidak suka menunggu. Terkhusus soal mandi bersama. Jadi, daripada kehilangan kesempatan, Latan langsung bergegas begitu Arin berjalan ke kamar mandi.

*
*
*

Dua jam kemudian, mereka sudah duduk berhadapan di meja makan. Dalam perjalanan pulang tadi, Arin sempat membeli makanan di dekat stasiun. Tadinya ayam dan ikan nila goreng itu masih panas. Tapi karena kegiatan mandi mereka berjalan lebih lama dari perkiraan, makanan mereka harus dihangatkan kembali.

"Aku masih nggak percaya kamu yang beresin apartemen," ucap Arin sambil mencubit ikan nila gorengnya. Karena masih panas, ia refleks meringis saat jarinya menyentuh daging nila. Latan yang melihat itu, berinisiatif meraih jemarinya dan meniup-niup sampai Arin merasa baikan.

Kerikil dalam SepatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang