Angkara

15.7K 2.4K 274
                                    

"Makasih sudah jaga Sakha dengan baik," Arland berkata seraya mengusap kepala Sakha. Anak itu memeluk pahanya dengan wajah girang. Sementara itu, perempuan di hadapan Arland tersenyum kaku lalu mengangguk takzim. "Besok minta tolong lagi, ya. Tadi sudah saya bicarakan dengan Bu Happy."

"Iya, Pak."

Arland mengangguk. Ia melirik Sakha. Anak itu mendongak, kemudian tersenyum. Entah hanya perasaan atau pengasuh baru ini sangat menyenangkan, sejak tadi senyum Sakha tidak luput.

"Mbak Inggrid pulang sendiri?" tanya Arland.

"Iya, Pak. Tapi nggak masalah."

"Saya pesankan taksi, ya?"

"Oh, nggak perlu, Pak. Saya bisa naik busway." Dengan sopan pengasuh itu menolak. Seakan tidak memberi Arland kesempatan untuk membujuk, perempuan berdada padat itu buru-buru pamit. "Saya pulang sekarang. Mari, Pak."

Inggrid berlalu di hadapan sang majikan. Jujur, Arland sempat heran. Ia lantas memandangi perempuan itu dan Sakha bergantian. Ketika senyum sang anak tetap terurai, sementara sang pengasuh sudah menghilang dari gerbang, Arland tidak jadi menerka-nerka. Ia menganggap bahwa Inggrid sudah berpamitan panjang lebar dengan Sakha sebelum dirinya datang. Itulah kenapa Inggrid pergi tanpa pamit pada Sakha——berbeda dengan kebiasaan Lia.

"Sakha kelihatan senang banget," ujar Arland seraya mengajak anak itu ke dalam rumah. Setelah pintu tertutup, ia menyambung, "Senang ya main sama pengasuh baru?"

"Senang," jawab Sakha tanpa menghilangkan lengkungan bibir. Yang ia tahu, pengasuh baru itu adalah Mama. Tentu saja Sakha senang. Selama bersama Mama, ada banyak hal yang dijalani. Sakha dimandikan, dipuji-puji saat memasang lego, disuapi ikan goreng (Sakha makan dengan lahap), diantar ngaji ke masjid, dan dijanjikan bertemu lagi besok.

Yang tidak Sakha mengerti adalah Mama melarang bilang hal ini pada Ayah. Kalau bilang, katanya Mama tidak bisa datang lagi. Oh, Sakha tidak mau itu terjadi. Dan sepertinya Sakha memang harus diam-diam saja. Pasalnya, Ayah juga kelihatan kesal kalau ditanya soal Mama. Jadi karena itulah Sakha tidak akan menyebut Mama di depan Ayah.

*
*
*

"Duh, bingung juga. Itu si Haikal kelimpungan banget. Nggak bisa ngerjain."

Arin menjilat bibir ketika mendengar keluhan si Kimbo di sambungan telepon. Sejujurnya ia merasa tidak enak. Tapi ia tidak bisa berbuat apapun. Ia sudah terlanjur bilang dirinya sakit. Akan repot kalau ia meralat kondisinya.

Hari ini Arin memang izin tidak masuk. Tindakannya ini bukan contoh baik, ia tahu itu. Tapi segalanya sudah dipertimbangkan. Awal bulan begini, pekerjaan material controller tidak terlalu sibuk. Request pun tidak ada yang urgent. Ditambah lagi ia punya jatah cuti yang belum diambil.

Tetapi memang, kalau mau ambil cuti, harus dari jauh-jauh hari. Alasan yang diterima untuk izin mendadak seperti ini adalah sakit atau berita duka. Dan Arin memilih sakit sebagai alasannya.

"Kapan memangnya target material on site?" tanya Arin pada si Kimbo. Ia sedikit curiga bosnya ini hanya mencari-cari alasan. Kemarin ia pulang cepat lalu sekarang izin tidak masuk. Mungkin karena itulah si Kimbo amat keberatan.

Ah, sialan! Arin memaki dalam hati. Hanya izin sehari memangnya tidak boleh? Setiap hari ia sudah bekerja keras. Tanggal merah dan akhir pekan juga diterobos untuk kerjaan. Sekarang tidak masuk sehari saja diperlakukan seperti buronan.

"Ya secepatnya, lah."

"Iya, kapan itu, Pak? Kemarin Bapak bilang diproses minggu depan saja. Terus kenapa sekarang ganti lagi plan-nya?"

Kerikil dalam SepatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang