Tidak Punya Pilihan

16K 2.2K 218
                                    

Arland tahu sedari tadi ponselnya bergetar. Alih-alih menjawab, lelaki itu justru mensunyikan benda pipih tersebut. Setitik ruang di hatinya terluka, tapi ia pun tidak punya pilihan. Ia akui janjinya pada Arin ——untuk tidak mengusiknya——telah ingkar. Tapi mau bagaimana lagi. Semua memang tidak semudah lidah berucap.

Sakha, anak yang disayanginya itu, semakin hari semakin pintar dan peka. Ia menyadari ada yang lain dengan keluarganya. Yang mana harusnya ada seorang wanita pendamping untuk sang ayah. Selama ini Sakha tahu, ayahnya tidak ingin membahas perkara ini. Tetapi malam itu, kebingungannya sudah tidak bisa ditahan. Anak itu bertanya. Melontarkan kalimat yang membuat Arland mati kutu.

"Ayah, kok, Aka nggak kayak teman-teman lain?"

"Maksudnya?"

"Nggak punya ibu."

Arland merasa dadanya berhenti berdetak sedetik. Inilah yang paling Arland takuti. Meskipun ia tahu pertanyaan ini akan terlontar, nyatanya ia benar-benar tidak bisa menjawab. Ia bingung. Sanggupkah dirinya mengatakan kejujuran, bahwa orangtua Sakha menolak kehadirannya. Oh, itu pasti akan mengguncangnya. Tapi, membohongi pun rasanya tidak tega.

"Sakha punya ibu," jawab Arland setelah tertegun sejenak.

"Ayah nggak bohong, kan?"

Jantung Arland berdebar tak karuan. Tidak pernah seresah ini saat ditanya seseorang. Biasanya ia bisa mengontrol diri dengan baik. Namun, senewen kali ini membuatnya kalah. Arland tampak salah tingkah.

"Ayah, jangan diam," Sakha mendesak. Harapan serta ketakutan memenuhi dada. "Beneran Aka punya ibu?"

"Setiap anak pasti punya ibu."

"Di mana dia sekarang?"

Arland rasa cukup. Obrolan ini harus dihentikan. "Pokoknya ada," katanya. "Eh, sudah jam segini. Kita tidur, ya."

"Ayah, Aka mohon. Kasih tahu Aka."

"Besok kamu sekolah, Nak. Tidur, ya."

"Fotonya saja gimana? Nggak apa-apa lima detik. Aka mau lihat ibu."

Arland menelan saliva dengan susah payah. Sepertinya tidak ada jalan lagi. Sakha benar-benar mengepungnya dari segala sisi. Tatapannya. Nada bicaranya. Gerak-geriknya.

Maafkan saya, Arin, pikir Arland pada akhirnya. Ia meraih dompet di nakas. Membuka dengan rasa bersalah. Menarik secarik foto berukuran tiga kali empat. Potret Arin lantas muncul di antara KTP dan SIM.

"Cantik," bisik Sakha setelah melihat foto Arin. Dengan tangannya yang kecil, anak itu tampak mengusap-usap wajah Arin. "Aka mau panggil Mama. Biar kayak teman yang lain."

"Sudah lima detik. Tidur, ya, Nak."

"Sebentar, Ayah. Sebentar lagi."

Sakha masih memandangi foto Arin. Senyumnya terurai. Kebahagiaan nampak melumuri wajah. Selain mengusap-usap, Sakha rupanya mulai menempelkan kecupan. Bibir mungilnya mendarat di foto Arin.

"Mama ada, tapi nggak bisa sama-sama dengan Sakha," kata Arland berat hati. Ia meraih foto di tangan Sakha pelan-pelan. Memasukkannya kembali ke tempat semula. "Suatu hari nanti Sakha pasti ngerti."

Malam itu Sakha menelan rasa penasarannya sendirian. Ada rasa bersalah yang menyelinap di hati Arland. Nyeri itu tak terlukis. Namun nyata menyesakkan dada.

"Ayah, Aka nakal ya makanya Mama nggak ada di rumah?

...

"Ayah kan baik, coba minta sama Tuhan biar Mama ada. Pasti dikabulkan."

Kerikil dalam SepatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang