Mau Kepala Tiga

26K 2.7K 29
                                    

"Mbak Arin," Seseorang memanggil Arin yang sedang memeriksa target pengiriman material. Pelakunya Haikal, si fresh graduate yang sudah seminggu bergabung dengan proyek Indioset.

"Iya?"

"Pak Deddy suruh saya kirim SFP ke Lampung. Materialnya ditaruh di mana, ya?"

Arin mendongak ke deretan lemari gantung di sekitarnya. Mengingat-ingat letak material untuk pekerjaan upgrade topologi tersebut. Di ruangan ini, lemari gantun berjejer membentuk huruf L. Satu deretan berwarna merah, satu lagi kuning. Yang merah menjejer di atas kepala Arin, sisanya di sisi tempat Aldi dan Ghiska duduk.

"Kuning, Kal. Cari di nomor tiga."

Anak muda itu mengangguk lalu mendekati lemari. Ia meminta izin pada Aldi dan Ghiska untuk menggeser duduk sebab ia hendak membuka lemari. Arin yang meneruskan pekerjaan, sesekali iseng melirik ke arahnya. Anak muda itu membutuhkan waktu lebih banyak untuk mengambil material yang dimaksud. Maklum, baru seminggu di sini.

Tepat ketika Haikal menemukan barang yang dicari, si Kimbo muncul dari luar ruangan. Dengan badan tinggi besar dan kepala plontos, ia tegak di samping Haikal.

"Kal, pesawat jam setengah tujuh, ya," kata si Kimbo. "Dari bandara naik taksi saja. Nanti kalau sudah sampai, langsung hubungi Syehan."

"Berarti nanti langsung kasihin aja SFP-nya ke Pak Syehan?"

"Ya iya lah."

Arin merasa janggal dengan omongan mereka. Iapun iseng bertanya, "Material kiriman kemarin kurang, Pak?"

"Iya. Jumlah SFP-nya nggak sesuai dengan kebutuhan lapangan."

"Tapi sudah sesuai bill of quality, Pak." Arin mengantisipasi. Pengiriman material adalah tanggung jawabnya. Dan seingatnya, ia sudah memastikan tidak ada yang salah.

"Bill of quantity-nya yang kurang bener. Nggak sesuai kebutuhan."

"Terus sekarang Haikal ngirimin tambahannya?" timbrung Aldi.

"Ya iya lah. Untung masih ada sisa hasil self purchase minggu lalu."

Setelah si Kimbo berkata, lelaki itu langsung meninggalkan ruangan.

"Kal, kau ke Lampung cuma nganterin SFP?" tanya Aldi.

"Iya, Lae. Urgent katanya. Kalau pakai ekspedisi paling cepet besok."

"Terus tiketnya gimana?" tanya Ghiska.

"Pak Deddy sudah pesenin, Mbak."

"Pulang-pergi, kan?" timpal Arin.

"Perginya saja, Mbak."

Arin, Ghiska, dan Aldi saling lirik. Matanya menyorotkan ketidakpercayaan.

"Terus nanti kau pulang kek mana?"

Haikal menggaruk rambut. "Palingan cari travel, Lae. Bingung juga soalnya Pak Deddy nggak bilang apa-apa."

"Kimbe!" gerutu Aldi sambil geleng-geleng kepala.

Kemudian Haikal melangkah ke mejanya. SFP, perangkat yang bentuknya mirip flashdisk itu dimasukkannya ke dalam ransel. Jumlahnya hanya empat. Sesuai perintah si Kimbo.

"Saya pamit, ya."

"Hati-hati, Kal," pesan Arin, Ghiska, dan Aldi.

Kemudian pemuda itu keluar ruangan.

"Luar biasa bos kelen itu," celetuk Aldi. "Nggak orang lama, nggak anak baru, diperintahnya seenak jidat."

"Terus nanti Haikal gimana di sana?" Ghiska bertanya miris. "Abis ngasihin barang, langsung pulang? Lah, emangnya bisa dapet travel hari itu juga?"

Kerikil dalam SepatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang