Terlalu Jauh

16.5K 2.2K 171
                                    

Arin baru saja melangkah ke lobi ketika Arland turun dari taksi. Jantungnya mendadak berguncang hebat. Ia juga tidak berani menambah langkah, hanya berdiri sambil memerhatikan.

Arland pasti baru pulang dari makan siangnya bersama Sakha. Oh, bisakah Arin melihat bocah itu meski sejenak?

"Dadah, Ayah. Sampai ketemu di rumah."

Dari posisinya sekarang, Arin hanya bisa mendengar suara itu, juga sebuah tangan yang melambai-lambai keluar jendela. Arin tersentuh. Mendengar suara dan melihat lengan kurus itu, rindu Arin sedikit terbayar.

"Baik-baik sampai Ayah pulang, ya."

Arin melihat senyum Arland terurai. Begitu tulus dan penuh rasa kasih. Lalu tanpa diduga, tubuh Sakha keluar dari mobil. Anak itu langsung melingkarkan tangan di kaki Arland.

"Pulangnya jangan malam-malam. Aka mau main lego baru sama Ayah."

Arland meraih Sakha lalu menggendongnya. Sepasang ayah-anak itu membuat Arin tersenyum pahit. Memang harusnya begini, pikirnya dengan hati terluka. Sejak awal memang Sakha harus bersama Arland. Anak itu amat menyayangi dan disayangi sepenuh hati.

"Ayah usahain. Sekarang sama Tante Tara dulu, ya."

Sakha terlihat mengangguk-angguk.

"Tante Tara nggak akan pergi juga, kan? Aka takut dititip ke perempuan itu."

"Nggak, kok."

"Syukurlah. Aka nggak mau kalau dititipin ke perempuan itu lagi. Dia jahat."

Arland menurunkan Sakha, anak itu masuk kembali ke taksi. Sekian detik kemudian, mobil melata. Menyisakan Arland yang sesekali melambai ke arah Sakha.

Arin yang sejak tadi menyimak, merasa gelenyar panas hinggap di perut. Ia merasa obrolan keduanya cukup mengusik. Perempuan jahat yang dibilang Sakha bisa jadi dirinya. Jangan bilang Arland bicara yang tidak-tidak pada Sakha. Huh!

"Mas Arland," panggil Arin sambil menghampiri.

Seperti kemarin-kemarin, Arland tampak malas menghadapinya. Lelaki itu mendelik. Bersiap balik badan dan meninggalkannya.

"Saya mau bicara."

"Nanti saja. Sudah waktunya kembali bekerja," kata Arland sambil menarik langkah ke dalam kantor.

Arin tidak berhenti. Ia menyetarakan langkah dengan pria itu.

"Mas bicara apa sama Sakha? Soal perempuan jahat."

Arland diam. Ia memasuki lift, Arin gesit mengikuti. Ketika jarinya menekan tombol, belum ada jawaban juga dari bibirnya.

"Mas!" sahut Arin. Hanya ada mereka di kapsul itu.

"Kamu nggak punya urusan dengan obrolan kami. Lupakanlah!"

"Mas nggak boleh membuat Sakha benci pada saya."

Arland menarik senyum melecehkan. "Kamu sebaiknya berkaca, Arin. Apa tindakanmu pantas untuk nggak dibenci?"

Arin diam. Dadanya terasa dipukul. Sesak tak terkira.

"Saya belum tahu tindakan apa yang kamu lakukan pada Sakha. Tapi dia selalu menangis."

"Apa yang Sakha adukan?"

"Kamu yang ngaku, bukan Sakha yang ngadu."

Lift siap berhenti di lantai tujuan mereka. Arland hendak bergegas keluar. Sebelum pintu benar-benar terbuka, ia mengatakan sesuatu yang lagi-lagi membuat Arin laksana ditimpa palu godam.

Kerikil dalam SepatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang