Hantu

21.6K 2.7K 227
                                    

"Pak Dyo ini yang gantiin Bu Frida. Dia ditarik dari WC Surabaya buat bantu kita di sini."

Pria bertubuh tambun dan kepala plontos itu mengenalkan seseorang di ruangan Indioset. Seperti pada umumnya, beberapa orang tampak menyambutnya dengan senyum dan anggukan sopan. Lelaki yang baru hadir di antara mereka pun melemparkan salam perkenalan. Ia menarik kedua ujung bibir lalu bersikap formal.

"Saya Arlandyo Musa. Mohon kerjasamanya."

"Saya biasa manggil Dyo. Biar lebih akrab. Kalian terserah," pria bertubuh tambun dan berkepala plontos, alias Pak Deddy, alias si Kimbo, menginfokan. "Mungkin pekenalan ini bisa dimulai dari Lae Aldi dulu. Silakan, Lae."

"Hallo, Pak Dyo. Awak Aldi. Bagian target revenue dan kontrol dokumen."

"Saya Emon. Biasa diapanggil Cang Emon. Engineer lapangan. Kebetulan hari ini work in office."

"Saya Ghiska, Pak. Support untuk perizinan akses ke site dan purchase order untuk subkon."

"Saya Haikal, Pak. Material controller untuk area Pulau Jawa."

Ruangan Indioset lengang sesaat. Semua orang sudah mengenalkan diri, kecuali Arin. Perempuan yang berdiri satu garis lurus dengan Arlandyo Musa itu mendapat giliran bicara. Namun alih-alih buka suara, ia justru bengong. Matanya menyoroti sang asisten manajer baru dengan pandangan yang sulit diartikan.

Terang saja Arin mendadak jadi patung. Sejak tadi dunia terasa berhenti berputar. Arlandyo Musa, kakak dari mantan suaminya, berdiri di tengah ruangan. Ia bahkan dikenalkan sebagai pengganti Frida. Yang artinya, mulai detik ini juga, ia akan bergabung dan bekerja dengan Arin!

Oh, Tuhan. Rintih Arin penuh sembilu. Kenapa dari sekian banyak manusia di Surabaya, harus Arland yang ditarik ke sini?!

Arin mengetatkan rahang. Perlahan-lahan ia sadar, pertemuannya siang itu di stasiun, jelas ada hubungannya dengan momen ini. Arland, dia akan menghantuinya!

"Rin?"

Arin tersentak. Baru ia sadari, semua orang memandangnya dengan heran. Mereka menunggunya bicara.

"Arin. Material controller," ujarnya pendek.

"Yang paling bisa diandalkan, Pak," ujar Deddy seraya menarik satu sudut bibir.

Arland mengangguk formal. Matanya memandang ke arah Arin. Senyumnya sungguh irit. Mengartikan salam kenal biasa. Seakan-akan mereka tidak mengenal sebelumnya.

*
*
*

Kacau!

Arin benar-benar tidak bisa bekerja seharian ini. Surel yang masuk ke outlook-nya hanya dibaca. Subkontraktor rewel meminta informasi pengiriman barang. Si Kimbo krang-kring terus sejak ia tahu perintahnya pada Arin tidak menghasilkan progres. Pekerjaan Arian benar-benar terhambat. Ia tidak menyelesaikan satupun.

Ini benar-benar tidak beres! Batin Arin seraya memijat pelipis. Biasaanya ia hanya pening karena memikirkan pekerjaan. Itupun masih bisa diatasi. Tapi kali ini? Gila! Arin sungguh nyaris gila.

"Mbak Arin sakit?"

Haikal bertanya. Arin menggeleng.

"Oh iya, Mbak. Uang akomodasi ke Lampung sudah dikembaliin Pak Deddy. Minta norek Mbak ya, biar saya transfer."

Arin tidak menjawab. Saat Haikal ditugaskan Deddy ke Lampung hanya untuk mengirim 4 SFP, ia memang mentransferkan sejumlah uang untuk pemuda itu. Bukan mau sok baik. Ia hanya berusaha menempatkan diri sebagai Haikal. Bayangkan : anak rantau, baru pertama kali kerja, belum dapat gaji, harus ke luar pulau dengan uang sendiri.

Kerikil dalam SepatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang