Racun

16.1K 2.4K 379
                                    

Arin harap-harap cemas ketika mendekati ruangan Arland. Berkas di genggamannya ia pegang erat hingga terlihat lecek di bagian jari. Dadanya bertalu kian cepat. Kakinya gemetaran. Napasnya agak sesak didera rasa khawatir.

Siang ini Ghiska izin tidak masuk lantaran masuk angin. Gadis itu meminta tolong agar dokumen di brangkasnya ditandatangani sang asisten manajer. Tenggatnya hari ini, sehingga mau tidak mau Arin menuruti permintaan Ghiska.

Sesampainya di depan pintu ruangan Arland, Arin tampak mengatur napas. Tarik, tahan, lalu embuskan. Begitu sampai beberapa kali. Agak mirip ketika ia melahirkan dulu.

Arin ingin permintaan Ghiska ini berjalan singkat. Hanya mengetuk pintu, minta tanda tangan, kemudian pamit. Sudah, begitu saja. Tidak perlu menatap mata Arland, apalagi memberi celah agar pria itu bicara. Terkhusus di luar pekerjaan.

Sampai saat ini, sikap Arland pada Arin masih belum berubah. Sinis, dingin, tidak suka. Cara bicaranya singkat dan datar. Tatapan matanya sayu. Rautnya selalu mengingatkan Arin pada perjumpaan mereka yang pertama. Begitu penuh intimidasi dan mematahkan segala harapan.

Tindakan Arland laksana hukuman tidak kasat mata. Pemberian maaf sepertinya sudah tidak ada di kamus. Arin yang biasanya gigih dan keras menerjang apapun demi sesuatu yang diinginkanpun merasa frustrasi. Tembok yang dibangun Arland terlalu kokoh. Arin kesulitan menerobosnya.

Sambil mengatur napas sekali lagi, Arin mengetuk pintu dua kali. Ketika mendengar sahutan dari dalam, Arin menekan kenop kemudian masuk.

Arland tampak duduk dengan setelan rapi khasnya. Ia memakai kemeja biru muda lengan panjang. Busana kakinya tidak kelihatan karena terhalang meja, tapi Arin tahu ia memakai celana bahan hitam, juga sepatu senada. Arland rupanya tengah menelpon. Tangan kirinya memegang ponsel, sementara yang satu lagi memainkan tetikus. Ketika Arin punya kesempatan memandang matanya, lelaki itu memberi gestur agar Arin duduk sementara dirinya tetap menelpon.

"Mungkin nanti," Arland menjawab orang yang ditelponnya ketika Arin duduk. Tangan yang digunakan memegang tetikus ia pakai untuk meraih berkas-berkas yang ditaruh Arin. Ia membaca sambil tetap menelpon.

"Kamu lupa sesuatu," sambung Arland. "Surabaya bukan kota asing bagi kami."

Sambil menelpon, lelaki itu membaca tulisan di berkas. Mata maupun indera lainnya seperti tidak menganggap keberadaan Arin. Perempuan itu lantas bingung sendiri. Apa dirinya tetap di sini? Dengan catatan seperti kambing congek. Atau, ia bisa meninggalkan berkas lalu mengambilnya nanti?

"Sebentar." Akhirnya Arland berbicara kepada Arin. Lelaki itu terlihat beringsut. Kupingnya masih berciuman mesra dengan benda pipih. Pandangannya memberi gestur agar Arin tetap di sini sementara dirinya izin menelpon.

Arland berjalan ke sudut ruangan, meninggalkan Arin yang duduk. Awalnya Arin kesal diperlakukan begini (ia punya banyak kerjaan, kenapa disuruh menunggu?) Tapi kekesalan Arin perlahan surut ketika matanya menengok pigura. Posisi benda itu menyamping. Akan sangat jelas jika dipandang dari kursi Arland. Tapi dari tempat Arin pun tetap terlihat.

Foto dalam pigura itu menampilkan Sakha.

Tanpa sadar Arin tersenyum lalu meraih pigura 3R itu. Dalam foto, Sakha terlihat duduk bersila bersama ratusan keping lego di lantai. Dua tangannya memegang bentuk Ironman dan Spiderman. Pandangannya mengarah pada kamera. Senyumnya kelihatan riang nan ceria.

Arin menatap citra di hadapannya dalam-dalam. Dibiarkannya rindu di dada terobati, dirasakannya kehangatan yang membelai kalbu. Ia mengusap bagian wajah Sakha seakan-akan anak itu ada di hadapannya. Ia juga ikut tersenyum saat melihat guratan di bibir anak itu. Dan tanpa bisa disangkal, hatinya bergumam, Sakha, Mama rindu.

Kerikil dalam SepatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang