Waktu Itu

17.5K 2.6K 160
                                    

"Maksudnya, pernikahan kita harus dibatalin?"

"Bukan dibatalin, Ar. Ditunda. Tolong beri aku waktu. Aku belum benar-benar siap."

"Omong kosong," Arin mencebik. Kemarahan sudah sampai di ubun-ubun. Emosinya terbaca dari mata yang berkaca-kaca. "Harusnya kamu bilang dari dulu. Sebelum lamar aku. Sekarang, pernikahan kita udah di depan mata. Dua minggu lagi, Reon."

Lelaki di hadapan Arin menunduk dalam.

"Aku harus bilang apa sama Ibu? Sama teman-teman? Sama semua yang diundang?"

Melihat Reon yang hanya menatap lantai, Arin mengerang frustrasi. Air mata yang ditahan sejak tadi akhirnya pecah. Tangisnya memang tidak bersuara, tapi bahunya naik turun. Kepalanya menunduk beberapa derajat sementara bulir kesedihan berjatuhan di atas paha.

Arin tidak suka jika apa yang direncanakannya gagal. Apalagi untuk hal seserius ini. Sejak dulu ia terbiasa menghitung segalanya dengan baik. Salah satunya mengenai target usia pernikahan, yakni dua empat.

Sejak di bangku kuliah, Arin sudah memaktubkan diri untuk serius mencari pendamping hidup. Bukan sekadar pacar apalagi yang iseng singgah sementara. Dan menurutnya, Reon bukan hanya satu visi dengannya. Lelaki itupun mempunyai segala hal yang Arin butuhkan. Tampang, cinta, harta, dan kematangan.

Arin pun berusaha mempersiapkan diri dengan baik. Kemampuan seorang istri, coba ia kantongi. Mulai dari beres-beres rumah, hingga cara memasak (meski tidak mahir), semuanya Arin pelajari. Ia berusaha memantaskan diri sebagai istri Reon.

Tapi entah apa yang merasuki kekasihnya itu. Tahu-tahu Reon ingin menunda pernikahan. Alasannya konyol. Tidak siap katanya. Sungguh, itu bukan alasan!

Memang satu bulan terakhir ini Reon sedikit lain. Ia bukan saja lebih cuai, beberapa kekurangannya pun mulai nampak dari waktu ke waktu. Saat marah, ia akan menunjuk-nunjuk muka. Bentakannya juga kasar. Kadang tangannya berani mencekal bahu.

Belum lagi kakaknya yang bernama Arland pun seperti tidak suka pada Arin. Tatapannya sayu. Tidak pernah senyum. Dingin saja kalau Arin berusaha bersikap baik.

Arin menganggap hal-hal tadi sebagai kerikil semata. Ibunya sering bilang, semakin dekat hari-h maka godaan pranikah memang semakin besar. Dulu mendiang ayahnya pun sama katanya. Beruntung, mereka bisa melewatinya.

Namun, ayahnya tidak pernah berniat menunda apalagi membatalkan. Segala kekhawatiran itu diterobos. Berbeda dengan Reon. Kenyataan itu seperti menampar Arin. Harapannya laksana istana pasir. Siap ambruk begitu ombak mampir.

"Beb, jangan kayak gini," Reon berkata sambil menyentuh bahu Arin. Tidak tega ketika kekasihnya mulai menangis bersuara. Ia memperkecil jarak duduknya dengan gadis itu. Memeluknya dengan sayang.

"Tolong dipikirkan lagi, Re." Arin sesenggukan. Ia mengelap wajahnya yang lembap. "Kalau nggak siap, aku juga sama. Tapi kalau nggak dicoba, mana kita tahu."

Reon membisu. Ketika Arin memanggilnya, ia melengos. Tidak berani menatap mata Arin yang masih menyisakan air mata.

"Re, please." Arin menyentuh tangan Reon, mendekap erat. Tatapan mata yang memelas menegaskan permohonan mendalam.

Lelaki itu masih membatu. Keraguan menjejak di wajahnya. Sesekali rahangnya mengetat. Ada sedikit urat yang menyembul di pelipis.

"Apa salahnya ditunda satu atau dua tahun lagi, Beb?" kata Reon. "Uang yang sudah kita keluarin? It's okay. Tahun depan biar aku yang tanggung. Rasa malu? Ayolah, palingan orang cuma berani bergunjing. Dua bulan pasti lupa."

Arin kembali menangis. Kepalanya menggeleng kasar. Bukan soal uang. Bukan juga soal malu. Arin hanya ingin jalan hidupnya teratur sesuai perhitungan. Ini seperti bertaruh dengan mengatasnamakan harga diri. Kenapa Reon tidak mengerti juga?

Kerikil dalam SepatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang