Mungkin Salah Lihat

17.4K 2.2K 246
                                    

"Status duda menandakan dia telah gagal menjalani rumah tangga sebelumnya, Tara."

Arin diam menyimak omongan sang mertua. Dadanya bertalu keras namun diusahakan agar wajahnya tampak biasa saja. Berbeda dengan Tara. Perempuan hitam manis itu seperti keberatan dengan penjelasan sang ibu. Beberapa kali mulutnya hendak menukas. Beberapa kali juga napasnya diatur.

"Mana punya anak pula. Sudah pasti nggak akan benar ke depannya."

"Ibu terlalu cepat mengambil kesimpulan. Kenal saja nggak."

"Seenggaknnya Ibu lebih tahu perkara ini ketimbang kamu." Wanita itu melirik ke arah pria yang duduk di sebelahnya. "Iya, kan, Yah?"

Alih-alih menjawab, pria itu hanya mengangkat bahu tanpa komentar. Ia memang tidak mau menerjunkan diri pada masalah ini. Niatnya berkumpul dengan anak dan menantu adalah melepas rindu. Bukan debat kusir.

Beberapa menit lalu mereka baru selesai santap malam. Kini keempat manusia itu sedang menikmati hidangan pencuci mulut. Sambil mencicipi puding, tukar suara itu berjalan lancar.

Perbincangan awalnya terasa ringan dan santai. Entah kapan percikan itu keluar, tahu-tahu merembet ke hal krusial. Yang menjadi tokoh utama adalah Lintang Utara. Anak pertama di keluarga ini kena sodoran pertanyaan tentang kisah romansa. Begitu ia menjawab ——dan menyebut si duda——, sang ibu langsung mempersiapkan sejuta tukasan. Keberatan.

"Terus kamu sendiri gimana, Rin?"

Si empunya nama menoleh. Wah, sudah ganti peran rupanya. Kira-kira apa yang akan dibahas? Waduh, mana Latan tidak ada di sini.

"Sudah ada rencana resign kalau kontraknya tiga tahun?"

"Eh?" Arin bingung. Sekaligus kaget. Kalau bukan mertua sendiri, sudah disumpalnya wanita ini menggunakan kata-kata sadis. "Saya sama Latan belum bicara soal ini, Bu."

"Loh, kok, belum? Tinggal beberapa bulan lagi, kan?"

Arin tersenyum kaku lalu berdehem salah tingkah. Oke, ini agak sulit ditangani. Arin tersudut lantaran tidak punya pembela. Oh, Latan, kenapa dia harus ke Kalimantan di saat seperti ini?

"Bu, pudingnya kemanisan nggak? Punya Ayah kebanyakan gula kayaknya."

Wanita paling tua di ruang makan mendongak. Wajahnya agak ketus. Seakan-akan bilang, lagi bahas hal lain kenapa ngomongin puding?

"Iya, nih. Punya saya juga. Kalau kayak gini nggak usah dikasih susu." Tara ikut-ikutan. Ia menggerakkan benda kenyal di atas piring kecil miliknya.

"Yang kamu gimana, Rin?" tanya ayah Latan. "Dari tadi belum disentuh sama sekali. Kamu diet, ya?"

"Arin ngapain diet? Latan pernah ngeluh sama Mbak karena kamu terlalu kurus katanya, loh."

Arin merasa lega. Tidak ada Latan, setidaknya ada Tara dan Ayah. Keduanya seperti mengerti situasi. Iseng, Arin melirik ibu mertua. Wanita itu sebentar lagi akan kehilangan selera omelan. Akhirnya pasti terdistrak juga.

Benar saja. Ibunya Latan tidak bicara apa-apa lagi. Meja makan akhirnya diisi obrolan ringan. Sampai makanan penutup tandas, keempatnya beringsut dan pamit ke kamar masing-masing.

*
*
*

Nggak biasanya kamu kayak gini. Kita udah berhari-hari nggak telponan. Balas pesan pun selalu singkat. Ini aku beneran marah, ya.

Satu jam kemudian, Arin sedang uring-uringan di kamar Latan. Suaminya itu benar-benar menjengkelkan. Tidak menjawab telpon. Telat balas pesan. Mengabaikan keinginan Arin yang ingin mengeluarkan unek-unek soal makan malam tadi.

Kerikil dalam SepatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang