Divorce

77 11 2
                                    

"Jen, Jeni bukain dong."

Jisu gedor gedor pintu balkon Jeni. Iya Jisu lagi kabur gaes. Karena kamar dia sama Jeni sebrangan jadi Jisu lompat dari balkon.

"Apa sih Jis, lo ganggu ba— eh Jis kenapa?"

Jeni udah siap maki maki sahabatnya itu namun ketika melihat muka Jisu yang menyeramkan. Matanya udah sembab banget.

"Berantem sama Bang Jemin?"

"Suruh masuk dulu ngapa Jen?"

Jeni ngangguk aja. Nih orang masih aja nyebelin pas waktu sedih. Cuma yaudah lah kasian juga Jisu udah sedih gitu.

Pas udah duduk di atas kasur, Jisu langsung nangis lagi. Deres banget air matanya kaya hujan angin topan.

Jeni udah ga bisa tanya apa apa. Dia Cuma ngelus punggung sahabatnya sambil sedikit menenangkan. Kalau di pikir, jika Jisu dan Jemin bertengkar tidak mungkin Jisu sampai sebaper ini.

Ia juga ingat kalau sang pacar sudah keluar rumah sejak sore tadi dan memutuskan menginap di rumah Memble.

"Kenapa Ji?"

Setelah Jisu mulai tenang barulah Jeni bertanya. Ucapannya cukup halus agar tak menyakiti sahabatnya.

"Hiks Buna sama Bana berantem."

Oke ini masalah internal. Udah menyangkut keluarga. Jeni tak bisa memberi solusinya. Karena sekali salah memberi solusi fatal akibatnya.

"A' Sehun sama Teh Teyon ada di rumah?"

Jisu ngegeleng. Sejak sore tadi, Jisu memang di tinggal sendirian. Kedua kakak tertuanya sedang sibuk dengan tugas kelompok sedangkan Bana dan Buna sibuk di luar rumah.

"Yodah gue bilang Jemin dulu suruh dia kesini ya?"

Jisu hanya menggangguk lalu meneruskan acaranya menangisnya. Sedangkan Jeni langsung menghubungi Jemin.

Ga lama setelahnya Jemin datang dengan deru napas yang tak teratur. Ia di suruh untuk datang secepat mungkin jadi mau tak mau ia berlari dari apartemen temannya sampai basement, cukup melelahkan.

"Eh Jis, kenapa?"

Melihat sang adik yang sudah tak karuan, Jemin langsung menarik Jisu kedalam pelukannya, menepuk punggungnya memberikan ketenangan.

"Buna sama Bana bang." Ucap Jisu saat sudah lebih tenang. Jemin melepaskan pelukannya lalu menatap sang adik penuh tanya. "Kenapa?"

"Jadi—"

Flashback on

Jam sudah menunjukan pukul satu dini hari, Jisu baru aja selesai mengerjakan prnya. Niatnya sih mau mencuci muka dan sikat gigi lalu pergi tidur.

Tapi sebelum itu ia mengambil segelas air putih di dapur. Belum saja sampai dapur, ia mendengar keributan yang berasal dari ruang tengah.

"PULANG TELAT, BAU PEREMPUAN, ADA CUPANG PULA, GILA KAMU YA!"

"Gausah teriak teriak kasian Jisu."

"Halah ga usah ngomongin Jisu mending kamu jelasin ke aku maksudnya apa."

Jisu Cuma bisa bersembunyi di balik tembok dekat dapur. Ia tak ingin ketahuan. Jelas karena kondisi yang tak memungkinkan.

"Gausah nuduh yang ngga ngga deh."

"ITU CUPANG SIAPA, TINGGAL JAWAB SIH APA SUSAHNYA."

Plak

Suara tamparan memenuhi ruangan tersebut. Buna sudah menangis di tengah kesunyian malam. Sedangkan Bana mengusak rambutnya kasar lalu pergi ke luar rumah.

Disini Jisu hanya bisa menutup mulutnya, ia terlalu kaget. Tak sadar air matanya sudah menetes deras. Bantingan pintu yang bersumber dari Buna membuat Jisu tersadar dan langsung menuju kamar.

Di kamar, Jisu dapat melihat Bana yang masuk ke dalam mobilnya lalu pergi meninggalkan rumah. Di satu sisi ia dapat mendengar isakan tangis Buna yang kebetulan posisi kamarnya bersebelahan dengan kamar Jisu.

Ini kali pertama Jisu mendengar pertengkaran Bana dan Buna. Jadi tak heran bila Jisu cukup kaget atas kejadian ini. Dan bisa di bilang, permasalahan ini bukan permasalan yang kecil.

Saking kaget dan takutnya, Jisu langsung kabur ke kamar Jeni yang kebetulan ada di seberang kamarnya.

Flashback off

"Udah, kan udah ada Abang sama Jeni jangan nangis lagi, oke?"

Jisu ngangguk. Ia menghapus jejak air mata di pipinya lalu berusaha tersenyum. Biarkanlah Buna dan Bana menyelesaikan masalahnya.

"Udah sekarang bobo aja yuk." Ajak Jeni.

"Yuk hayuk." Bukan, ini bukan Jisu yang menjawab tapi Jemin dengan ekspresi ambigunya. Ia sudah memposisikan diri di kasur milik Jeni.

"Heh setan lo tidur di sofa yang tidur di kasur gue sama Jisu."

Jeni melemparkan bantalnya ke arah Jemin. Jisu yang melihat abang dan sahabatnya itu langsung tertawa.

Jemin senang, setidaknya sang adik tak merasa sedih lagi. Ia tak mau adiknya terbawa pikiran, walaupun ia juga kepikiran.

Bobrok fams

Pagi ini tak seramai biasanya. Hanya ada Jemin dan Jisu di meja makan. Sehun dan Teyon masih menginap. Buna? Tak keluar kamar sejak semalam. Bana? Hah, tak berani pulang mungkin.

Ketukan pintu membuat Jemin dan Jisu saling bertatapan. Jemin memberi isyarat menyuruh Jisu membukakan pintu. Paham akan hal itu, Jisu mengangguk.

Hal pertama yang dilihat Jisu saat membuka pintu adalah senyuman dari tukang pos. "Mba mau anter surat." Jisu mengangguk seraya tersenyum "Makasi pak."

Setelah menutup pintu, Jisu melihat dengan seksama amplop yang diberikan tukang pos.

"Bang, nih ada surat dari— PENGADILAN AGAMA?!"

Bobrok fams

Agak drama emang, cuma ya gimana lagi pengen bikin konflik biar bobrok fams ga terus terusan bobrok gitu. Biar keliatan agak normal kaya ff lain. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 07, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

bobrok famsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang