BLP 2

8.3K 201 13
                                    

BLP (2)

💙Anak Adalah Segalanya

Kini, Naima telah berada di depan rumah. Hujan yang lebat tak serta-merta menghapus air matanya yang kian deras. Ia terbayang bagaimana sang suami bergeming di tempatnya. Apalagi, kata-kata wanita itu yang menilai Naima tak sempurna.

Gigi wanita itu gemeletuk sembari memeluk diri, lekas ia membuka pintu coklat yang tadi dikunci dari luar. Tiba di dalam, terlihat anak-anaknya masih tertidur. Saat ia lihat penunjuk waktu di atas meja, sudah menunjukkan ke angka sepuluh.

Secepat kilat Naima masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri, apalagi melihat Alden sempat membuka matanya sedikit. Wanita itu tak ingin anak-anak mengetahui yang sebenarnya.

Hanya tangis yang luruh bersama kucuran air kran. Naima merasa menjadi wanita yang tak bisa menjaga suami. Sampai-sampai Wandi menikah lagi. Naima akui, Kaina muda dan masih segar, tidak seperti dirinya yang sudah melar. Naima segera menyelesaikan acara bebersih, secepat mungkin merapikan diri.

"Apa yang harus aku lakukan, Ya Allah? Apa aku harus tetap bertahan?" Lagi, air matanya luruh, ketika menatap foto pernikahan yang tertempel di dinding kamar.

Saat di mana senyum Wandi masih sangat lebar, memeluk Naima dari belakang. Foto tiga belas tahun lalu.

****

"Bun, Bunda, bangun! Kita salat subuh, yuk!"

Suara si sulung memaksa Naima membuka mata yang terasa berat. Kepalanya pening luar biasa akibat menangis semalam dan kehujanan.

Wanita itu berusaha menegakkan tubuh, walau rasa panas dingin menjalar. "Ya, Al. Alden duluan ajah, ya, adik-adiknya udah dibangunin semua?" tanyanya lirih sambil menetralkan pandangan yang sedikit memburam.

"Sudah, Bun. Mereka udah siap semua. Bunda, kenapa?" tanya si sulung heran. Tangannya menyentuh kening sang bunda,  "ya Allah, Bun. Panas banget. Ya, udah, Bunda istirahat ajah. Adek-adek biar Alden yang mengurus." Dibaringkan kembali tubuh sang bunda.

Alden berlalu keluar, ia harus memimpin adik-adiknya salat berjamaah. Naima bersyukur, Allah memberinya anugerah pertama yang luar biasa, Alden selalu bisa diandalkan.

Walau dalam keadaan sakit, wanita beranak empat itu melaksanakan salat dengan posisi duduk. Seketika ingatannya kembali, pada peristiwa tadi malam. Sungguh tak disangka, teganya Wandi menikah lagi tanpa memberi tahu. Air mata kembali luruh, semakin membuat pening kepala Naima.

Tak lama, anak-anak masuk kamar. Wajah mereka terlihat sedih dan cemas. Apalagi si Alan, bocah sepuluh tahun itu sudah meraung menyebut nama sang bunda. Ia berlari duluan menggapai tubuh lemah Naima.

Alin, gadis bungsu Naima yang tampak lebih bongsor dari kedua kakaknya, memilih naik ke ranjang dan memijat pelan kepala sang bunda. Wajahnya meringis, saat merasakan panas pada kening bunda.

"Alin pijitin ya, Bun. Ini yang sakit?" tanyanya pelan, sembari memijat lembut.

Naima hanya mengangguk samar, mengelus pelan rambut bob-nya. Melihat mereka semua, membuat wanita itu makin bersedih. Bagaimana jika mereka mengetahui semuanya? Naima harap mereka mengerti.

"Dek, jagain bunda, ya. Abang ke dapur dulu," titip Alden pada adik-adiknya.

Bocah penyuka game online itu berlalu dari kamar, meninggalkan sang bunda bersama ketiga adiknya.

"Alan gak boleh nangis, Nak." Mendengar Alan masih sesenggukan membuatk Naima makin terenyuh, "bunda gak papa, Sayang."

"Apanya yang tidak apa-apa, Bun? Bunda sakit begini. Apa Alan harus menelepon Ayah?"

Mendengar kata ayah, Naima menggeleng cepat. Rasanya tak berguna, Wandi pastilah tidak peduli.

"Gak usah, Lan. Bunda gak papa. Nanti juga sembuh sendiri. Kalian belum sarapan, kan?"

Mereka bertiga menggeleng. "Bunda duluan, baru kita." Kali ini Adlan, anak ketiga Naima yang dari tadi diam saja.

Tak berapa lama, Alden masuk membawa nampan berisi makanan. Semangkuk bubur instan masih mengepulkan asap dan segelas teh hangat.

"Maaf, ya, Bun. Alden cuma bisa bikin bubur instan aja."

Naima tersenyum, baginya itu sudah cukup. "Terima kasih, Al. Ayo, sini, kita makan sama-sama."

Mereka semua menggeleng berbarengan.

"Ayo, bunda mau makan sama kalian semua." Akhirnya Naima habiskan semangkuk bubur itu bersama keempat anaknya, Walau perih, tapi ia masih bersyukur memiliki mereka semua.

Siang harinya, keadaan Naima lebih baik. Walau pusing dan gemetar belum sepenuhnya menghilang. Namun, sudah bisa dibawa membereskan dan memasak makan siang.

Hari libur, keempat anak Naima menikmati waktu mereka. Alden yang asyik bermain game online, Alan dan Adlan menonton TV, sedang Alin asyik menggambar.

Tiba-tiba, ada suara deru motor yang sangat dikenal berhenti di depan rumah. Anak-anak yang mengenali juga, segera berlarian menyambutnya.

Wandi masuk membawa kresek besar belanjaan. Anak-anak bergelayut manja. Alin sudah digendongannya.

Naima diam saja, ingin menyambutnya seperti biasa, akan tetapi kaki seperti dipaku. Jadi, ia hanya memandang dalam diam.

"Yah, Bunda sakit. Ayah ke mana baru pulang?"

Wandi menoleh. Namun, lelaki itu sama seperti tadi malam. Dia sama sekali tak bertanya atau pun mendekati Naima. Apa benar-benar sudah menghilang rasa cintanya itu?

Makan siang telah selesai, Naima menata di meja makan. "Makan dulu anak-anak."

Keempat anak itu berlarian ke meja makan. Terlihat Alden menarik ayahnya untuk ikut makan. Naima diam saja, malah menyembunyikan wajah.

Pria itu masih diam. Dia sama sekali tak berniat menyapa atau menjelaskan semuanya. Naima yang tidak tahan, lekas meninggalkan meja makan, dengan alasan pusing kembali datang.

Naima menghempaskan tubuh ke atas ranjang. Hatiknya begitu terluka dengan sikap sang suami. Setidaknya, dia menjelaskan apa yang terjadi. Namun, seakan tak acuh dan semua baik-baik saja.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka, Wandi masuk dengan ekspresi datar. Lekaki itu duduk jauh di meja kerjanya. Pandangannya mengarah keluar jendela.

"Maaf, Nai." Satu kata yang makin membuat Naima terluka.

"Ke-kenapa, Mas, melakukan itu?" Suara wanita itu bergetar menahan bongkahan batu yang terasa mengganjal di tenggorokan.

"Semua terjadi begitu saja, Nai. Aku pun tak tahu awalnya bagaimana. Yang pasti, Kaina sudah menjadi istriku sebulan lalu."

"Ke-kenapa, Mas? A-apa aku sudah--"

"Ya, kamu sudah tak seperti dulu, Nai. Terlalu asyik dengan anak-anak, kamu melupakan aku."

Jleb!

Bagai seribu pedang menusuk bersamaan di dada Naima. Apa dia bilang? Terlalu asyik dengan anak-anak? Bukannya, keempat anak itu juga anaknya?

Naima tak bertanya lagi. Ia tak sanggup bila harus mendengar kalimat selanjutnya.

"Mulai besok, Kaina akan tinggal di sini. Semua terserah padamu, kamu boleh pergi, tapi tanpa anak-anak."

"Bagaimana kamu membawa madumu kemari, Mas? Bagaimana dengan anak-anak?"

Naima tak habis pikir. Bagaimana dengan mudah Wandi mengatakan semuanya.

"Mereka akan mengerti." Setelah mengatakan itu, Wandi keluar dari kamar.

Naima merasa sesak, saat mengingat boleh pergi, tapi tanpa anak-anak. Apa yang harus ia lakukan?

...

Layangan PutusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang