BLP 4

4K 132 1
                                    

💙

"Bunda, kenapa diam saja? Apakah Ayah menyakiti Bunda?" desak Alden.

Naima memejamkan mata, mencoba menahan air yang selalu ingin melesak keluar. Bukan hanya tersakiti, Wandi telah melukai hatinya. Bahkan, wanita itu ingin segera pergi. Namun, ketika mengingat lagi ancaman sang suami, niat itu luntur. Dan ia harus rela menahan perih yang mungkin akan datang tiap hari.

"Alden, biar pun Ayah menyakiti bunda. Bunda belum bisa berbuat apa-apa. Tante Kaina adalah istri baru Ayah. Itu artinya, dia ibu kalian juga. Cobalah bersikap baik sampai ibu menemukan cara untuk menyelesaikan masalah ini." Naima mencoba menjelaskan sekelumit permasalahan yang terjadi. Terlihat Alden dan Alan mengangguk, dua anak lelaki itu sepertinya mengerti. Sementara, Adlan dan Alin masih terlihat bingung.

"Tante itu ibu tiri, donk, Bu," celetuk Adlan.

Sang bunda mengangguk pelan. "Iya, Adlan dan Alin harus bersikap baik."

"Tapi, Alin gak mau punya ibu tiri, Bun. Ibu tiri itu jahat seperti ibunya Cinderella. Kenapa, sih, Ayah membawa ibu tiri? Kan, kami semua masih punya Bunda?" tanya Alin.

Lagi-lagi Naima bingung harus menjawab apa. "Bunda juga gak tau, Sayang. Iya, bunda juga maunya gitu. Kita harus sabar, ya. Sampai bunda menemukan cara bagaimana bisa menyelesaikan ini semua."

Syukurlah, mereka semua mengangguk. Naima memang harus secepatnya harus pergi dari sana. Ia bukanlah wanita yang memiliki sabar tanpa batas. Dia hanya perempuan biasa. Ada saat di mana lelah menyambangi.

Saat ini, Wanita itu diam hanya untuk menenangkan Wandi. Naima juga tak rela bila harus merelakan anak-anak diurus oleh perempuan rubah seperti Kaina. Ia bertekad akan mulai mencari rupiah sendiri, agar nanti bisa menghidupi keempat anak-anaknya. Karena selama ini, mereka hanya bergantung pada Wandi.

Anak-anaknya telah berada di kamarnya masing-masing. Alin sudah tertidur pulas memeluk boneka Doraemonnya. Sementara Naima masih betah membuka mata, menatap langit kamar Alin bergambar awan dan langit biru.

Jika mengingat lagi perlakuan Wandi hari ini, Naima merasa sangat marah dan sedih. Namun, belum bisa berbuat apa-apa. Ia tak ingin kehilangan anak-anak. Wandi bukan orang yang main-main dengan ucapan. Jika sampai ia menuntut cerai, sudah pasti sang suami akan melakukan berbagai cara untuk mempertahankan anak-anaknya. Itu tidak boleh terjadi.

Jika diingat lagi, Naima dan Wandi sudah menikah hampir 14 tahun lamanya. Ia kenal Wandi saat masih kuliah. Pria itu kakak tingkat Naima di kampus dulu. Sikapnya baik dan bertanggung jawab. Tidak seperti sekarang, sangat jauh perbedaannya, dia jadi kasar dan suka membentak. Sebegitu berpengaruhnya Kaina. Hingga, bisa merubah pribadi yang hangat dan family man menjadi pria yang bengis tanpa belas kasih. Wandi bukanlah suaminya yang dulu.

Tak kunjung bisa memejamkan mata, Naima mengambil air wudu untuk salat sunah. Ia juga ingin mengadu pada Sang Kuasa.

Setelah melaksanakan salat, hati wanita itu berangsur tenang. Saat itulah, sebuah dering panggilan terdengar dari ponsel yang entah sejak kapan ia lupakan.

Naima mengambil benda persegi yang berada di atas meja belajar Alin. Telepon masih terus berdering saat ia melihat siapa gerangan yang menelepon malam-malam begini. Nama Mbak Rena tertera jelas. Lekas ia mengangkatnya.

"Waalaikumsalam, Mbak." jawabnya setelah terdengar salam dari seberang sana.

"Wandi nikah lagi?" Tanpa basa-basi seperti biasanya, Rena langsung ke inti pembicaraan.

"Mbak tahu dari mana?" Tentu Naima heran dari mana kakak dari suaminya itu mengetahui sang adik menikah lagi.

"Jadi benar dia nikah lagi? Dasar lelaki tak tau diuntung. Jadi, di mana dia sekarang? Aku hubungi sejak tadi sore tak ada jawaban." Suara Rena terdengar emosi sekali.

Layangan PutusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang