BLP 1

23.8K 417 23
                                    

Madu yang Tak Manis

Oleh Nhay S. Agustina

Aku menatap iba pada empat anak kecil, tiga lelaki dan satu perempuan yang tertidur pulas di ruang tivi. Mereka tak tahu apa-apa, saat para tetangga menggosipkan ayah mereka.

Sekali lagi aku menghela napas. Berpikir di mana Mas Wandi, sudah hampir seminggu tak pulang ke rumah. Sudah kuhubungi, akan tetapi ia beralasan ada pekerjaan di luar kota

Namun selentingan-selentingan di antara warga membuat kuragu. Ada yang mengatakan Mas Wandi telah menikah lagi. Entahlah!

Lagi, kuraih ponsel berwarna hitam dan menekan nomor Mas Wandi. Tak lama kini hanya suara operator yang menyaut. Perasaan mulai tak menentu. Maka saat itu, kuputuskan untuk menanyakan ke kantornya.

Setelah berpakaian rapi, menggunakan gamis biru dengan hijab seirama. Ketika tangan ingin membuka hendel pintu, suara si sulung terdengar.

"Bun, mau ke mana malam-malam?" tanya si Sulungku, Alden. Umurnya dua belas tahun.

Aku menoleh, dan kembali mendekat pada Alden. Kuelus lembut rambut kehitaman seperti milik Mas Wandi. Sosok Alden adalah kopian Mas Wandi kecil, semua yang ada pada anak ini adalah Mas Wandi.

"Bunda mau ke kantor ayah, sebentar saja. Bisakah Alden jaga adik sebentar? Bunda gak akan lama," pintaku padanya yang menatap penuh keingintahuan.

"Bunda akan mencari ayah? Alden temani, Bun," ujarnya lagi.

"Kalo Alden ikut, siapa yang jaga Alan, Adlan, dan Alin? Bunda sebentar kok ya!" Lagi aku mencoba membujuknya. Anak ini agak keras kepala. Namun sosoknya sangat bisa dipercaya dan penyayang.

"Baiklah, Bun. Jangan lama-lama." Alden kembali menemani adik-adiknya yang masih tertidur pulas. Sebelum itu, kukecup singkat keningnya.

****

Suasana malam tampak temaram. Langit yang biasanya ceria dengan taburan bintang dan cahaya bulan, terlihat murung dan kelam. Awan bergumpal mencuatkan beberapa kilatan listrik.

Aku telah siap dengan helm dan motor matic. Tekadku bulat untuk mencari tau kemana suamiku sebenarnya. Beberapa kali Mas Wandi memang seperti ini, akan tetapi tak sampai seminggu tak pulang.

Jalanan masih ramai dengan kendaraan lalu lalang. Baru sekitar pukul delapan memang, pantas saja masih ramai. Motorku melaju berbaur dengan kendaraan lain.

Butuh waktu dua puluh menit sampai ke kantor Mas Wandi, itupun dengan kecepatan lima puluhan saja. Kantor Mas Wandi ini tepat di jantung kota, jadi mudah saja menemukannya.

Aku memarkir motor di parkiran, tampak beberapa kendaraan masih berjajar rapi. Mas Wandi bekerja di sini hampir sepuluh tahun, sebuah kantor penyedia alat berat.

Aku melangkah masuk, seorang satpam berbadan besar menyambut dengan ramah. Aku berpikir, lebih baik bertanya padanya dulu.

"Assalamualaikum, Pak." Aku mengucap salam ketika melihat nametag-nya Muhammad.

"Waalaikumsalam. Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanyanya ramah dengan senyum di balik kumis hitam.

Aku menundukkan kepala. "Apakah Pak Wandi-nya ada di dalam?"

"Pak Wandi? Pak Wandiansyah, Bu?" tanyanya lagi.

"Iya, Wandiansyah. Saya istrinya," ungkapku lagi, ketika melirik wajah Satpam yang bingung.

"Istri?" Makin berkerut keningnya si satpam ini.

Wajar saja sih, karena selama ini memang aku tak pernah ke mari. Ini pertama kalinya.

"Iya, Pak. Saya Istrinya. Pak Wandinya ada?" Aku kembali bertanya.

"Oh gitu. Pak Wandinya baru saja keluar, Bu. Mungkin hanya lima menit sebelum Ibu datang tadi," jelasnya masih dengan wajah bingung.

Aku kecewa. Berarti Mas Wandi telah berbohong. Ia tak di luar kota, jadi kemana ia selama ini?

Aku berpamitan setelah tak mendapatkan apa-apa. Langkahku mulai lunglai, menyadari Mas Wandi telah berbohong.

Kembali kukendarai motor matic-ku, teringat si empat sendirian di rumah. Pikiranku melayang pada Mas Wandi, ketika seminggu lalu masih di rumah. Aku ingat, waktu itu dia berkata sesuatu sambil memeluk pinggang.

"Dek, apa pendapat kamu tentang poligami?"

Aku yang mendengar kata poligami, langsung menghadap padanya. Menatap netra sekelam malam miliknya. Menyelami pertanyaan yang sangat sensitif menurutku.

"Kenapa tanya begitu? Apa kamu berniat poligami?" Aku berkata dengan sarkas, saat melihat senyum terbit di wajahnya.

"Tanya saja sih! Kok sewot."

Setelah itu tak ada obrolan lagi. Dan kini, aku mengingatnya. Apakah Mas Wandi memang berniat menikah lagi?

Rintik hujan mulai merinai, padahal masih beberapa ratus meter lagi untuk sampai ke rumah. Kutambah kecepatan motor, berharap hujan mau menunggu sampai tubuh ini tiba di rumah.

Namun yang diharap tak terjadi, dengan derasnya hujan turun tiba-tiba. Memaksaku untuk singgah di salah satu warung pinggir jalan. Padahal sudah tak begitu jauh dari rumah. Mungkin lima menitan saja.

Beberapa orang ikut berhenti, termasuk pengendara berbadan tegap dengan seorang wanita berambut sebahu. Aku mengenali motor tersebut, seketika aku terhenyak. Saat pria tegap itu membuka helm fullface-nya. Dia ... Mas Wandi.

Netraku makin memanas, saat dengan mesranya Mas Wandi merangkul mesra wanita dengan dandanan menor tersebut.

Aku berjalan mendekati keduanya dengan tatapan kosong. Ketika hanya berjarak dua meter, lirih suara memanggil suamiku.

"Mas Wandi," panggilku pelan diiringi suara rintik hujan yang kian lebat.

Sosok yang selalu aku hormati itu menoleh, wajahnya tampak terkejut. Namun dengan cepat kembali normal.

"Nai, kenapa malam-malam di sini?" tanyanya heran, tangannya masih menempel pada pundak wanita yang kini juga menatap heran padaku.

"Siapa, Mas?" Wanita itu bertanya pada Mas Wandi.

Aku hanya diam dengan netra mulai berair. Tak sanggup untuk mengeluarkan sepatah kata lagi.

"Dia ... ini istriku, Kai. Naima." Mas Wandi menjawab seraya meraih tanganku.

Aku mundur sebelum tangan kekar itu menyentuh. Menatapnya penuh luka.

Wanita yang dipanggil Kai itu menatapku dengan remeh. Menilikku dari atas hingga ujung kaki. Kemudian tersenyum kecut.

"Jadi ini istrimu, oh ya kenalkan, aku Kaina istri kedua Mas Wandi. Berarti adik madumu 'kan? Pantas saja Mas Wandi mencari istri lagi, jadi begini penampilan istrimu, Mas." Ia berkata remeh.

Aku kembali bagai disambar petir. Istri? Jadi benar apa kata tetangga. Mas Wandi hanya diam, ia tampak tak ingin menjelaskan apa-apa.

Aku yang sadar sudah menjadi tontonan, langsung berlalu memakai helm.

"Pulang jika sudah selesai. Keempat anakmu kangen!" Aku langsung menaiki motor, tak peduli hujan yang masih lebat. Lagian Mas Wandi sama sekali tak menghentikanku.

Air hujan menerpa tubuh ringkihku, gamis biru sudah basah kuyup. Begitupun air mata, di balik kaca helm luruh bersama air hujan yang menerpa.

Aku kecewa. Namun tak bisa apa-apa, aku bukan wanita yang berani mencakar, menjambak. Aku hanya berharap Allah memberikanku sabar yang cukup. Mungkin akan lebih berat lagi untuk ke depannya.

-

Jambi, 031119

Tamat apa Lanjut?






Testing, hehe ketemu lagi sama akyu, penulis receh paling bucin. Eh gak ding. Mo coba genre baru, pertama kali bikin poligami gini. Sudah dapat feel-nya 'kah? Mohon krisannya!

Layangan PutusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang