BLP 7

3.4K 122 3
                                    

💙 Awal yang Baru

Sabar itu tidak terbatas, tapi manusia kadang mencapai batas. Begitu juga yang dirasakan Naima, dia ingin mempertahankan rumah tangganya. Namun, melihat sikap Wandi kian berubah, pergi menjadi pilihan terbaiknya.

Naima menangis. Rena yang menyetir mobil merasa khawatir. Kakak iparnya itu bisa merasakan bagaimana perasaan Naima sekarang. Wandi memang sudah kelewatan, Rena saja sampai keheranan melihat sikap adiknya yang jauh berubah. Sang adik memang dingin dan cuek, tapi kemarin, sikapnya sangat berbeda, seperti dipengaruhi kekuatan jahat.

Keempat anak Naima tertidur di jok belakang. Sang bunda menoleh, menatap lama wajah-wajah damai keempat anaknya itu. Sebentar lagi, mereka akan menjalani kehidupan tanpa Wandi. Tanpa ayah dan suami.

"Nai, sudahlah jangan bersedih. Wandi patut kamu tinggalkan. Adikku itu memang sudah kelewatan." Rena akhirnya angkat bicara setelah sekian lama hening menyapa.

"Aku bukan sedih karena harus meninggalkan Mas Wandi, Mbak. Aku sedih melihat anak-anakku akan tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah. Hati mereka pasti terluka. Apalagi Alden dan Alan, mereka sudah mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, kedua adiknya, aku masih bingung menjelaskan dari mana," jelas Naima, air mata telah membasahi mata sendu wanita itu.

Rena menghela napas. Perpisahan orang tua, walau memang jalan terbaik, tetap saja anak-anak menjadi korban. Alden dan Alan pasti memendam kebencian pada sang ayah. Dan itu tugas Naima, agar jangan anak-anaknya salah langkah. Bagaimanapun, Wandi tetaplah ayah mereka.

Matahari mulai menampakkan diri, bersiap memamerkan keperkasaannya menyinari dunia. Wandi baru saja bangun dari malam panjangnya "menggarap ladang". Pria bertubuh kekar itu melilitkan selimut dan beranjak ke toilet. Kaina masih betah memejamkan mata, menikmati kelelahan yang dibuat suami yang ia dapat dari "mencuri".

Keluar dari kamar mandi, Wandi segera mengecek ponselnya. Semalam dia lupa melihat keadaan rumahnya. Hening. Layar ponsel hanya memperlihatkan gambar gelap tanpa cahaya. Seketika itu ketakutan menyergap, segera ia memencet nomor telepon rumah. Berdering, tapi tidak ada jawaban.

Wandi panik, wajahnya mengeras, terlihat dari kerutan yang semakin memenuhi keningnya. Dia menghubungi ponsel Naima, tapi sama saja, malah suara operator menjawab dari seberang sana. Kini, nomor Alden menjadi sasaran, akan tetapi hasilnya sama, semua tak aktif lagi.

"Brengsek! Jadi Naima memang kabur. Berani-beraninya wanita itu pergi membawa keempat anak-anakku." Wandi meninju tembok, tanda ia begitu kesal dan marah.

Kaina yang terganggu akhirnya terbangun dari tidur. Wanita yang masih polos itu mengucek-ucek matanya. Kemudian, melihat sang suami yang terlihat marah.

"Ada apa sih, Mas? Pagi-pagi, kok, sudah ribut. Kita ini bulan madu, bangun siang juga gak papa."

"Naima kabur!" Wandi mengarahkan pandangan keluar jendela, di mana sekumpulan camar terbang bebas di atas laut mematuk-matuk air.

Kaina tersenyum tipis, akhirnya rencananya berhasil. Namun, dia menyesal, belum membuat Naima lebih menderita. Ini lebih cepat dari perkiraannya.

"Ahh, sudahlah. Aku malah senang Naima pergi. Jadi, tidak ada yang mengganggu kita." Kaina tersenyum penuh kemenangan.

Wandi diam saja. Dalam hati dia hanya memikirkan keempat anaknya. "Bukan masalah Naima, tapi anak-anakku, beraninya dia membawa kabur anak-anakku."

Kaina jengah, wanita itu menghampiri Wandi dan memeluknya dari belakang. Kaina sama sekali tidak menyukai anak-anak, tapi suaminya ini kekeuh mempertahankan keempat anak-anaknya.

"Uhmm, sudahlah, mereka tak akan pergi jauh," ujar Kaina menenangkan.

Saat itulah, suara ponsel Wandi berbunyi. Nama "Boss" terpampamg jelas. Tiba-tiba sakit kepala menyerang pria itu . Pasti sang boss akan memakinya karena nekat pergi liburan tanpa izin.

Layangan PutusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang