Masih pagi, baru juga sampai disekolah, bokongnya saja masih dapat merasakan keras, hangatnya jok motor milik Bagas, nasibnya sudah sial saja, dipertengahan perjalanan menuju kelasnya malah dipertemukan dengan si ketua OSIS garang yang kebetulan berpapasan ditikungan tangga menuju lantai tiga kelasnya.
Serius ini masih pagi, tapi tampang nya satria sudah sangar aja, kaku pula macam orang yang habis bertemu makhluk astra a.k.a setan. Fabio jadi ingin bertanya pernah kah Satria melakukan senam wajah sekali-kali, sebab wajahnya begitu kaku tak berekspresi macam tak akan lunak meski dimainkan sebegimana rupanyapun.
"Pagi orang som-"
"Udah tau tugas lu apa?"
Fabio garuk kepala belakang, belum selesai dirinya berbicara sudah kena tikung suara Satria yang selalu terdengar rendah, tajam yang jika didengar akan terasa membangkitkan bulu roma yang tengah tertidur.
"Tugas? Ada pembagian tugas buat apa?"
Didepannya Satria mendengus, dongkol dengan Fabio yang tidak cakap sebagai anggota OSIS.
"Maneh gak liat grup OSIS semalem?" Tanya Satria sambil bergeser untuk bersandar pada dinding disebelah tubuhnya, sekalian agar tubuh bongsornya tidak menutupi separuh jalan menuju lantai tiga.
"Grup? Aku sama sekali gak buka wa semalem." Fabio ikut menepi, sebetulnya bukan atas instingnya, melainkan atas tarikan paksa dari Satria begitu segerombolan adik kelas berbadan bongsor berlarian disamping tempatnya berdiri, mungkin agar tidak tertabrak dan menimbulkan kecelakaan.
"Maneh bego atau naon? Dibeliin hp buat apa kalo gak dipake?"
Pertanyaan Satria agaknya sedikit membuat perasaannya tersakiti, sebab Fabio tidak pernah dikatai bodoh sekalipun itu oleh bundanya. Ini kali pertama, mungkin pernah tapi tidak seserius ini dirinya dikatai bodoh. Satria mengatakannya murni berasal dari hati terdalamnya, dan sama sekali tidak ada unsur bercanda.
"D-dipake, cuma semalem aku teh g-gak buka wa."
"Apa yang lu buka?"
"A-aku buka handphone bunda dari semalem gak buka handphone sendiri."
"Terus gunanya hp lu buat apa?"
Fabio bersumpah gak akan ada orang yang tatapannya setajem tatapan Satria, mungkin kalau tatapan Satria saat ini diibaratkan sebilah pisau Fabio pastikan tanpa perlu diasah sekalipun langsung dapat membelah daging sapi dalam sekali tebas.
"Semalem a-aku cuma l-lagi pengen buka handphone bunda."
Satria mendengus, meraih Handphone hitamnya dari saku celana, membukanya untuk kemudian mencari ikon kontak dari aplikasi bertukar pesan yang saat ini tengah banyak digunakan.
"Bisa dibacain kapan terakhir kali lu buka whattsapp?"
Fabio mengintip bar room chat yang diatasnya tertera nama dirinya.
"Terakhir dilihat hari ini pada pukul 20.18"
Fabio meringis, seingatnya dirinya benar-benar tidak menyentuh handphone miliknya pada malam hari. Dirinya betulan memainkan ponsel bunda semalaman suntuk, memainkan aplikasi edit yang dirinya unduh dihandphone bundanya. Terkecuali jika adik-adik manisnya memainkan handphonenya tadi malam.
"Grup bener-bener rame jam segitu, dan lu bilang lu gak buka grup tadi malem." Satria terkekeh rendah. "Alesan lu sama sekali gak logis, bener-bener keliatan alesan yang dilontarin orang bego yang gak punya otak."
Fabio menunduk, tidak lagi memiliki daya untuk melawan, menyanggah saja percuma sebab dirinya yakin Satria akan memiliki banyak sekali sanggahan yang malah akan membuat dirinya semakin tersudut. Ya meski hatinya meringis pilu mendengar caci maki Satria yang memang kelewat batas dan sama sekali tidak ada unsur bercanda sedikitpun.
"Fabio Juan Arovik." Fabio tersentak kaget ketika tiba-tiba saja rambutnya digasak sedemikian halus. "OSIS gak pernah nerima orang bego kaya lu."
Harusnya senyum Satria pagi ini keliatan indah, kalau boleh jujur Fabio ingin mengatakan jika senyum Satria teramat menawan. Tapi kata yang terucap dari belah bibir Satria menusuk relung hatinya.
"Kerjain secepatnya begitu lu udah tau tugas lu apa."
Sesak, Fabio memukul dadanya sedemikian keras hingga membuat langkah Satria yang hendak meninggalkannya urung dilakukan.
"Tau gak sat." Fabio berkata tanpa menatap. "Rasanya sakit, sesak didalam sini, sebetulnya sebesar apa kesalahan yang aku lakuin sampe kamu ngatain aku kaya gitu?"
"Gak besar, tapi diliat dari segi mana aja, lu keliatan kaya orang bego yang percaya diri sama jawaban asal yang dibuatnya sendiri." Satria lagi-lagi terkekeh. "Sakit? Harusnya lu udah terbiasa bukan nerima kata-kata sarkas dari orang lain, bukan satu atau dua orang yang ngatain lu bego asal lu mau tau."
Tidak tahu, Fabio tidak mau menangis sebetulnya. Tapi air matanya malah menganak sungai tanpa bisa buat dicegah, malu menangis didepan orang lain.
"Makasih udah bantu aku buat sadar sebego apa aku dimata kamu sama orang-orang. Makasih."
"Ya, sama-sama."
TBC
Pemnasan dulu hehe, udah lama ga nulis soalnya hehe...maafin tiponyaaa 💓