renung

85 9 0
                                    

Semua sebenarnya terjadi dengan cara yang klise, ironinya hanya diri sendirilah yang menganggapnya istimewa.

Masalah asmara tidak pernah selesai secara baik awalnya, ego yang bertolak belakang selalu adu argumen membela diri yang belum tentu benar.

Sekarang aku hanya ingin meratapi diri sendiri. Logika dan ego yang saling melumpuhkan membuatku lelah. Lelah menempatkan diri dalam pilihan. Merelakan dan kembali sendirian mungkin keputusan terbaik agar diriku tidak terpaku akan suatu hal.

Soal hati selalu rumit. Aku bahkan tidak mengerti apa maunya. Dan sialnya perasaan berbuat sesuka hati, tanpa pandang beda.

Apa yang terjadi benar adanya diluar ekspektasi. Jika saja diri ini mampu membaca isi hatinya, apa mungkin semuanya terasa lebih baik? Apa mungkin akan berbalas sesuai keinginan? Ataukah hati ini akan kembali retak?

Menyesal dan bertahan bukanlah hal tabu. Berbagai pilihan senantiasa menghujam hati bak beribu jarum menusuknya. Sakit yang memang tak pernah bisa diprediksi, apalagi ditolak. Tidak apa, sakit hati memang manusiawi, kok.

Hanya saja, kadang waktu berbalas dendam. Kilas balik seakan meminta agar kembali dan pulang. Memulai semuanya dari awal, bersama orang yang diharap. Namun percuma, waktu tidak akan pernah bisa diulang, waktu akan terus berjalan walau aku hanya ingin sedikit meminta senggang agar bisa memperbaiki. Waktu menjerat aku agar terus menatap ke depan tanpa terus berjalan berlawanan menggapai hal yang tidak pasti akan berubah. Waktu juga menyadarkan bahwa aku masih memiliki kesempatan, bukan di masa lalu, tapi aku memiliki masa depan yang akan kujalani selanjutnya.

Jika aku masih terjebak dalam kelut masa lalu, bagaimana aku bisa merancang masa depan? Bagaimana jika, seseorang menungguku di seberang sana?
Entahlah, aku tidak tahu apa-apa.

Bandung,
Selepas hujan,
19.17

Dear, you.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang