Hanya sebatas 'hai' dan 'hati-hati' pun tak apa, aku mengerti. Karena sekarang aku juga merasakan sesal yang sesak dan menyeruak.
Aku tahu, temanmu kini bertambah banyak. Kamu juga banyak berubah ke arah yang lebih positif dan mudah berbaur. Aku senang melihatnya. Tapi seiring kamu memiliki teman baru, suka tidak suka, sadar tidak sadar, aku terasingkan. Aku berada jauh diantara percakapan kalian. Seolah aku tidak bisa bergabung karena terlalu renggang. Padahal tidak jarang kita berada hanya dalam radius beberapa meter namun untuk bergabung saja aku tidak dirasa mampu dan pantas.
Lebih baik terlambat menyadari daripada tidak menyadarinya sama sekali bukan? Aku sudah menerima semuanya. Rasa sakit, cemburu, dan sesuatu hal yang membuat aku tidak mau berpisah darimu.
Tapi jika kamu enggan, siapa aku untuk melarang?
Mengapa aku melakukan hal yang justru akan menyakiti diriku sendiri? Aku hanya ingin merasa jera, ingin merasa untuk selalu menghargai, ingin selalu belajar untuk memilih, dan ingin kembali merasa dicintai. Aku tidak apa-apa, ini keputusan yang aku ambil, semoga bisa baik ke depannya, doakan saja.
Menatapmu kini hanya bisa sesekali. Karena mata kita menolak bertemu tanpa disadari, mencoba beralih dengan urusan masing-masing. Mungkin hanya diriku yang memiliki ambisi untuk kembali memulai, namun apa daya, kini, aku tidak seberani itu lagi. Kini aku hanya bisa meratapi dari jauh tanpa bisa memberitahu.
Saat kita berada dalam satu garis yang sama, tubuh kita menghadap ke arah yang berlawanan, saling tidak menyadari keberadaan masing masing. Mungkin tidak peka, atau memang pura-pura tidak peka. Harusnya setelah ini kamu sadar bahwa aku selalu memperhatikanmu mulai dari hal hal kecil yang mungkin tidak kamu sadari. Seperti saat semburat fajar menyilaukan, saat terpaan angin pagi, dan saat kembali melihat gerbang hitam besar nan kokoh, aku menoleh untuk mencari sesuatu. Di tempat parkir yang biasa, dengan warna yang selalu mencolok di mataku.
Syukurlah, dia sudah disini.
Setelah aku mencoba untuk merelakan, sialnya hari ini datang memutuskan niatku untuk bersikap biasa saja. Mematahkan apa yang sudah kuputuskan jika kamu memang sudah memiliki perasaan yang lain. Diawali hanya dengan memanggil namaku saja, jantungku kembali berdebar cepat, semoga kamu tidak sepeka itu. Tapi nyatanya kamu masih sering mengungkap canda yang dengan polosnya aku percaya. Tawa itu kembali hadir menghangatkan suasana. Jika aku bisa, aku tak ingin percakapan ini berakhir. Harapan itu kembali memancarkan sinarnya walau sedikit. Bolehkah aku berharap sekali lagi?
Bandung,
Buram,
23.36