Sudah kubilang dari awal bahwa aku tidak ingin memaksa. Dan aku akan memegang ucapanku.
Aku memang tidak tahu apa yang kamu rasakan terhadapku, apakah kamu masih memiliki perasaan yang sama? Atau sudah pudarkah? Atau lenyap habis tergantikan oleh orang lain?
Sial. Jantung ini selalu berdebar cepat saat memikirkanmu, apalagi saat bertemu? Senyum ini selalu merekah mengingat serpihan kenangan yang diputar layaknya sebuah rekaman. Benar benar terasa lebih hebat daripada perasaanku padamu waktu itu. Perasaanku kini digenggam harap, dan jatuh. Aku tidak tahu kenapa, walaupun sebenarnya aku tahu, hatimu mungkin bukan lagi untukku. Tapi salahkah jika aku terus merangkai harap? Aku tahu ini percuma. Tapi biarlah, semoga saja rangkaian harapku bisa terus dirajut, entah siapa yang kutuju, entah siapa yang akan memperbaiki rangkaian ku yang usang.
Saat diberitahu bahwa kamu sedang bersama orang lain yang memang dekat denganmu, hatiku terasa tergores. Sedikit perih saat melihat keakraban kalian, dan tawa kalian. Aku iri.
Saat itu juga aku bersiap untuk melihat kalian secara langsung, mengetahui apakah kehadiranku akan membuat kalian berpisah atau melanjutkan percakapan asiknya tanpa perduli ada aku?
Aku hanya bisa menghela nafas berat. Menikmati pacuan detak jantung yang bukannya semakin pelan, malah semakin cepat. Benar saja, saat aku memasuki ruangan, aku memang mengetahui posisi kalian berada dimana, tapi aku hanya berpura pura tidak melihatnya. Hatiku kembali sakit, melihat secara langsung saat kalian berhadapan. Namun, beberapa menit kemudian kalian berpisah, dan saling berpamitan pada teman yang berada dalam satu ruangan. Dan aku dilewatkan mereka berdua.
Seperti ada batu yang melempari kepalaku, yang kemudian menyadarkanku bahwa aku harus berhenti berharap. Berhenti untuk memiliki perasaan yang salah.
Ia kembali lagi ke ruangan. Datang menghampiriku, dengan wajah tersenyum. Sial, debaran jantung ini tidak bisa diperlambat, benar benar membuatku bingung, aku tidak bisa berbohong jika aku masih ingin bersama dengannya. Ia melihat apa yang sedang aku kerjakan di sampingku, lalu memberi komentar sekilas. Ia memberi telapak tangannya, mengajakku high-five untuk berpamitan. Kembali, aku hanya bisa mengucap 'iya' dan 'hati-hati'
Kenyataan pahit ini terus menggerogotiku, memaksa aku menelan bulat-bulat. Mungkin ini merupakan isyarat bahwa aku harus merelakan, dan melepasnya perlahan. Menatap lurus tanpa berbalik. Berjalan dengan yakin tanpa harus kembali diam di tempat memikirkan siapa yang ada di belakangku, tanpa harus mencari sedikit harapan untuk diraih. Sadarlah bahwa kini semua luluh lantak. Aku harus kembali membuat benteng.
Aku harus berpaling.
Bandung,
Hening,
16.19