1. Auristela _ Hotel No 230

666 49 6
                                    

Dengan jas super slim seorang bodyguard profesional yang seharusnya sudah tidak lagi bekerja di lapangan sebagai pengawal pribadi, datang ke sebuah hotel berbintang 5 di pusat kota Jakarta.

Tawaran harga fantastis? Oh tidak, bukan itu. Bukan itu yang membuat dirinya diam-diam melanggar janji pada sang istri untuk tidak lagi mengawal siapa pun. Tapi apa? Profesionalitas. Ya, profesionalitas dan tantangan untuk kembali action.

Dia percaya bahwa tuntutan profesionalitas dan kinerja perusahaan jasa yang baru saja ia bangun sedang sangat membutuhkan perhatian pasar untuk bisa mencapai target yang lebih luas.

Tidak ada salahnya sesekali turun ke lapangan, pikirnya. Membuka kaca mata hitamnya. Mengembuni kemudian membersihkan sebelum akhirnya menggantungkan di kantung jas hitam pemberian istri tercinta dengan harga yang belum pernah ia keluarkan sebelumnya hanya untuk sebuah jas.

Langkah gagah di sepanjang koridor hotel telah berakhir di sebuah pintu kamar 230. Kemudian mengetuknya.

"Permisi Nona!" ketukan pertama.

"Permisi Nona Angela Wijaya, saya dari Danovan Club Bodyguard." Ketukan kedua.

"Masuk saja, tidak dikunci!" terdengar suara anggun yang seperti sengaja dibuat menggoda.

"Maaf Nona, saya hanya ingin memberitahu bahwa saya sudah datang. Saya akan menjaga Anda di pintu."

"Tapi aku ingin kamu masuk dan berjaga di dalam, aku sangat takut."

"Nona teriak saja kalau terjadi sesuatu, saya siaga di sini, tidak akan lengah, jangan khawatir." Dia terus saja menjawab dari balik pintu.

Tak terdengar lagi suara menggoda perempuan itu dari dalam sampai akhirnya lima menit kemudian...

"Aaaagh...!" sebuah teriakan berhasil membuat sang bodyguard menerobos pintu.

Siaga dengan senjata di tangannya ia mengecek ke dalam kamar tapi kemudian..., "Nona tolong pakai jubah mandi Anda dengan benar dan jangan main-main." Dia berkata seperti itu karena tak ada siapa pun di dalam, dan wanita itu, wanita itu menurunkan jubah handuk hampir setengah punggungnya.

"Aku sudah membayar kamu dengan sangat mahal, bersikaplah yang baik." Suaranya semakin menggoda.

Bodyguard itu berbalik badan karena wanita di hadapannya tidak juga menutupi bagian punggung yang tidak ingin ia lihat sama sekali.

"Saya akan dengan senang hati mengembalikan jika sikap Anda seperti ini. Saya akan menjaga di luar, silahkan Anda berpakaian. Dan tolong, bersikaplah selayaknya wanita terhormat." Baru saja hendak melangkah, tubuhnya sudah dikunci dengan dekapan yang kuat. "Nona tolong, saya adalah pria beristri, dan sebentar lagi akan--" dia berbalik dan kalimatnya tertahan di tenggorokan.

"Akan apa?" wanita itu, suaranya berubah menjadi suara yang sangat ia kenali.

"... Menjadi Ayah."

"Oh ya? Apa istrimu sedang hamil?"

"Sebentar lagi. Pasti. Karena kami sudah tiga bulan menikah."

"Oh, kamu sangat mencintai dia?"

"Sangat. Melebihi apa pun." Kali ini dia yang justru mengunci tubuh wanita itu.

"Perlakukan aku dengan baik, karena aku sudah membayarmu dengan sangat mahal." Dia menarik tengkuk pria itu.

"Aku akan benar-benar mengembalikan uangmu, Nyonya."

"Hm, kenapa?" godanya.

"Karena ... aku tidak menerima bayaran dari Nyonya Danovan."

"Oh ya? Tapi bukannya Anda sudah berjanji untuk tidak mengawal siapa pun?"

"Mm..., aku, akan minta maaf, dan akan memarahi sekretarisku karena telah berhasil membujukku untuk datang."

"Bekerjalah dengan baik karena aku sudah membayarmu sangat mahal."

"Aku akan berterimakasih dulu kepada istriku yang selalu menyiapkan jas dan memasangkan dasi ini, sebelum aku melepasnya."

"Aku yang akan melepasnya." Satu kecupan mendarat. "Kamu nggak membalasku?"

"Oh Tuhan..., di mana istriku?" dia membalas kecupan di bibir wanita itu. "Cukup?"

"Mm...," wanita itu menggeleng.

"Cukup?" sekali lagi di membalas.

"Mm...mm...," menggeleng lebih banyak.

"Ah baiklah...," kali ini lebih dalam dan lebih lama.

"Gimana aktingku?"

"Sangat buruk, Nyonya! Apa kamu sengaja ingin mengujiku?"

"Dan kamu melanggar janji untuk tidak mengawal siapa pun. Bukannya kamu itu pemimpin yang nggak perlu lagi turun ke jalan, Pak Damian?"

"Sayang maafkan aku, Rachel benar-benar meyakinkan aku untuk datang. Dia bilang, aku bisa mengaku dan meminta maaf setelah selesai."

"Um, begitu? Aku akan kasih hadiah untuk Rachel karena sudah berhasil meyakinkan kamu untuk mengambil tawaran ini. Dan aku berhasil membuktikan bahwa... bodyguard aku nggak mempan digoda."

Damian mendongak, tangannya semakin erat memeluk pinggul istrinya. "Kamu dan Rachel ... mempermainkan aku rupanya. Apa yang harus aku kerjakan dengan bayaran yang selangit itu, Nyonya Damian Danovan?"

"Temani aku."

"Ah, sepertinya aku harus menembak kepalaku sendiri! Dengan senang hati aku akan selalu di samping Nyonya. Tapi kenapa nggak memilih hotel di luar kota? Bali misalnya, pasti akan lebih indah."

"Hm..., aku khawatir bodyguard-nya nggak berani minta izin tugas ke luar kota tanpa alasan yang jelas kepada istrinya."

"Okey kamu menang. Sayang, apa kamu sengaja mengujiku?"

"Mungkin itu bisa jadi alasan. Tapi aku hanya ingin memberi kejutan ulang tahun suami aku. Happy birthday, my hero."

"Aku ulang tahun?"

"Hm..., kamu lupa?"

"Sayang, hanya Grandma yang mengingatkan, dan sekarang aku jauh..."

"Aku yang akan selalu mengingatkan, sayang."

"Thank you," Damian memeluknya erat. "Mana kadoku?"

"Ngng..., aku nggak membeli apa pun. Aku kado-mu sayang, temani aku berenang. Aku ingin berenang sepuasnya berdua."

"Oke, tapi aku..."

"Aku sudah siapkan celana renang kamu." Mereka tertawa kecil. "Tapi sebelumnya ... aku ada sesuatu buat suami aku tercinta."

"Apa itu sayang?"

"Sebentar." Auris menarik tangan Damian duduk di tepi ranjang. "Tutup mata dulu...," pintanya manja.

"Okey..., kamu membuat aku sangat penasaran," kata Damian, memejamkan mata.

Auris tak melepaskan tangannya yang memegang tangan Damian. Sementara tangan lainnya mengambil sesuatu dari bawah bantal. Dia menggigit bibir bawahnya gemas melihat Damian yang terpejam dengan senyum penasaran. Auris membuka tangan Damian.

"Jangan ngintip, ya." Meletakkan sepasang sepatu rajut di tangan Damian dan sebuah benda pipih, kecil.

"Owh, sayang please, aku penasaran."

"Okey," Auris semakin gemas, "buka mata."

Damian dengan penuh rasa penasaran membuka matanya perlahan.

"Oh, sayang, apa ini benar?" Damian tak percaya mendapati sepasang sepatu bayi dan test pack dengan hasil positif di tangannya. Auris mengangguk, Damian dengan mata berkaca menarik Auris ke pelukannya dengan penuh syukur dan haru.

"Ya, sayang, kamu akan jadi Ayah. Sudah satu minggu aku berusaha menyimpannya."

Auris tahu, Damian tak bisa berkata-kata lagi dan hanya memeluknya sangat erat sambil menangis haru.

***

Ever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang