Begitu tiba di ruangannya setelah mengantarkan Auris sampai benar-benar duduk di kursinya, Damian tak henti tersenyum. Tangannya meraih selembar kertas dan pena. Ia mulai berpikir nama-nama yang pantas untuk putra pertamanya. Mengingat nama-nama keluarganya sampai keningnya berkerut.
Bibirnya tersenyum lebar setelah menemukan tiga nama yang menurutnya memiliki arti paling baik. Memandang kertas bertuliskan tiga nama itu.
Pintu diketuk.
"Masuk!" sahutnya dari dalam.
"Maaf Pak, ada yang ingin bertemu."
"Bertemu? Bukannya saya tidak ada jadwal pagi ini?" tanya Damian, mengerutkan kening.
"Benar, Pak. Tapi ini tamu dari... London, sangat ingin bertemu."
"London? Siapa?" Damian seperti tak siap, jika memang salah satu sepupunya, mengapa tak mengabari sebelumnya?
"Aurelia Aylmer."
"..."
"Teman kampus Bapak."
Wajah Damian tampak menegang, "apa dia mengatakan hal lain?"
"Tidak Pak, hanya ingin bertemu."
"Baiklah. Terimakasih."
"Permisi Pak," Rachel menutup pintu.
Damin berdiri bingung, tepat saat ingin meraih handphone, istrinya memanggil. Meski Auris tak akan melihat siapa yang mendatanginya sepagi ini, tetap saja jantungnya berdetak kencang.
"Pagi sayang."
"Kamu udah sampe kok nggak ngabarin?"
"Oh iya, maaf, aku keasikan cari nama. Aku udah dapet tapi... ntar malem aja aku kasih tau kamu."
"Oh gitu, okey, aku juga bukan mau bahas soal itu. Aku mau pamit, ada meeting di luar."
"Baiklah, hati-hati sayang. Jagain juga anak kita."
"Tentu. Ya udah aku pergi ya, bye...!"
"Bye, sayang." Damian merasa bersalah untuk sesuatu hal yang belum bisa ia jelaskan.
Kemudian kakinya melangkah keluar menemui tamunya yang tidak pernah ia harap untuk bertemu lagi sama sekali.
Melihat seorang wanita berpakaian anggun bak bangsawan Inggris, Damian terpaku kemudian wajah cantik dengan rahang tirus itu terangkat dan terlihat jelas. Lalu pandangan mereka bertemu. Aurelia memang pemilik wajah yang sempurna dan tubuh ideal. Wanita itu berdiri menyambut Damian.
"Hai, apa kabar?" sapa Damian.
"Baik. Kamu? Pasti jauh lebih baik."
"Syukurlah kalau kamu bisa menjawabnya sendiri. Ada apa mencariku sampai... jauh-jauh dari Inggris?"
Aurelia terkekeh. "Kamu lupa ya, ibu aku juga dari Indonesia. Aku bukan dari Inggris, tapi dari Jogja."
"Oh..., sorry. Aku lupa, benar-benar lupa."
"Ya. Karena memang sepertinya kamu nggak ingin mengingat apa pun tentang aku."
Wajah Damian berubah seketika. "Um, bukan seperti itu--"
"Ya sudahlah Damian, aku ke sini bukan mau berdebat. Bisa kita... keluar untuk ngobrol? Aku akan balik ke Jogja siang ini. Itu sebabnya aku datang pagi-pagi."
Lama Damian berpikir, ia merasa tak enak hati bila menolak, tapi di lain sisi...
"... Oke, aku ada waktu sedikit." Damian tersenyum tipis, menjulurkan satu tangannya mempersilahkan Aurelia berjalan lebih dulu.
__
Di sebuah kafe ternama di Senayan. Damian sangat terlihat berusaha untuk bersikap biasa saja. Ia sadar pernah menaruh rasa pada wanita di hadapannya yang kini terlihat jauh lebih cantik. Tapi ia sendiri tidak tahu apakah masih menyimpan rasa itu.
"Aku... sebenarnya sudah lama ingin ketemu. Tapi waktu itu aku dengar berita pernikahan kamu. Selamat, ya."
"Thanks."
Aureli terdiam. Mencoba mengalihkan sejenak pada makanan di hadapannya. Sementara Damian menyesap kopinya, entah untuk menetralkan suasana hatinya atau memang karena ingin.
"... Waktu itu aku ingin mencari kamu yang katanya kamu memulai usaha di Indonesia, aku ingin benar-benar tau apakah kita ... maksudku kamu, masih punya perasaan yang sama seperti dulu. Aku tau kita saling menahan karena--kurang yakin. Cinta tanpa keyakinan, akan seperti kapal tanpa nahkoda."
Damian merasa diingatkan, tapi dia sudah tidak berada lagi pada situasi ini seharusnya. Dia sudah beristri.
"Jadi tujuan kamu mengingatkan ini,apa?"
Aureli menegakkan punggungnya. Tatapannya lebih berani lagi. "Aku tau aku terlambat menarik kamu pada situasi ini. Kamu sudah beristri." Mengempaskan lagi punggungnya ke belakang. "Tapi--hidupku nggak tenang sebelum ketemu kamu dan bicarakan ini. Percayalah aku pikir ketika kita kembali bertemu... kita akan ... mengikat hubungan dengan--sekarang kamu menikah dengan orang lain. Itu jawaban yang aku temukan saat mencari kamu di Indonesia."
"Aurel, maaf, kamu bisa memberikan cinta kamu pada yang lain. Aku nggak bisa mengelak ketika aku jatuh cinta pada istriku. Aku yakin kamu juga bisa."
Aureli tertawa. "Damian..., Damian, kamu terlalu serius. Tentu saja aku juga akan menemukan pria lain. Kamu pikir cuma kamu pria tampan di dunia ini?!" menjulurkan tangan. "Kita teman."
Damian tersenyum menyambutnya. "Dasar!"
__
Auris sedang bersama Fandy Juan seorang pria berusia 40 tahunan, seorang produser acara televisi.
"Jadi aku rasa kita harus membuat program yang mengedukasi anak-anak karena acara semacam itu hampir punah untuk saat ini." Auris berkata pada kliennya sambil berjalan bersisian.
"Aku paham maksud Ibu Auris. Aku akan membuat satu program berbahasa Inggris juga nantinya."
"Baiklah sampai ketemu lagi di kantorku. Kita harus segera memulai semuanya."
"Baik Bu Auris."
Pandangan Auris terpaku pada punggung tegap yang sangat ia kenali dan mengenakan jas yang ia siapkan tadi pagi. Tentu saja ia yakin itu...
"Pak Fandy silahkan duluan, itu sepertinya suamiku."
"Baik Bu, permisi."
Auris menghampiri meja Damian namun tak memanggilnya. Mata Aurelia tertuju padanya.
"Aku benar-benar terlambat muncul--" ucapan Aureli tertahan ketika melihat Auris berhenti.
"Sayang, bukannya aku telepon kamu untuk pamit keluar?" tanyanya dengan menepuk lembut pundak Damian yang sontak terkejut lalu berdiri. Ekspresinya sangat tidak siap.
"Um, iya.""Tapi kamu nggak bilang mau keluar juga, kenapa?" bisik Auris, ia masih punya etika untuk berdebat di hadapan orang lain.
"Nanti aku jelasin," bisik Damian. "Ini temanku kuliah dulu."
"Hai," Auris menjulurkan tangannya dan Aureli berdiri menyambutnya.
"Hai."
"Sorry aku harus pergi, aku harus mengantar istriku kembali ke kantor. Masalahnya dia sedang hamil muda, harus ekstra dijaga."
"Oh. Selamat ya," menarik bibirnya untuk senyum.
"Makasih...," jawab Auris tak lupa dengan senyumnya.
"Senang bertemu denganmu, permisi." Damian tak ingin membuat Auris berpikir lain, itu sebabnya ia memutuskan untuk meninggalkan Aureli.
"Oke. Terimakasih untuk waktunya," balasnya. Aureli memandang kepergian Damian dan istrinya sampai memutar kepala.
Kemudian mengambil selembar tisu untuk menyeka air di kelopak matanya yang tak bisa ia cegah untuk keluar.... Ini soal perasaan yang tidak mudah dihapus begitu saja.
***
Maaf lama gk setor part 🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
Ever After
RomanceMungkin butuh waktu untuk aku memahami bahwa hanya kamu yang akan membuat aku bahagia, merasa jatuh cinta, selamanya. Maukah kamu menemani hidup aku selamanya? Kamu adalah bodyguard aku satu-satunya yang akan menjaga aku selamanya.