"Gila! Gue boleh hujat orang nggak sih? Mulut gue rasanya udah gatel banget pengen menghujat."
"Shit! Gue nggak habis pikir tingkat playboy dia separah itu? Udah playboy akut itu mah."
"Dan juga, kenapa tuh perempuan mau aja di grepe-grepe gitu? Beneran nggak etika manusia dua itu."
"Mata gue rasanya udah nggak suci lagi pagi begini udah disuguhi sarapan panas ala Andeaz Pramudya Bahtiar."
"Naz? Kasih komen dong, diem-diem bae ngopi ngapa ngopi. Gue udah nyerocos panjang lebar gini masa lo cuekin."
"So?" Tanyaku cuek. Telingaku sudah berdengung mendengar segala cuitan Sherly bak akun lambe murah.
"So-so? Soto kali ah. Maksud gue kenapa lo diem aja. Kasih komen apa gitu kek kaya netizen julid jaman sekarang."
Ini nih kalau hobinya ngikutin akun lambe murah. Jadi korbannya kan sekarang.
"No comment," jawabku spontan.
"Yah, kok gitu sih? Lo nggak terkejut gitu sama kelakuan si Andeaz itu?"
"Enggak."
"Masa sih? Gue aja shock tau. Apa jangan-jangan lo udah tau kelakuan dia dari awal dia masuk kerja?" Tanya Sherly sambil mensejajarkan langkahnya denganku. Kami sekarang tengah berjalan menuju lantai ruangan ku berada setelah kami diberi pemandangan paling erotis sepanjang kami bekerja di perusahaan ini. Andeaz memang gila! Manusia nggak bermoral! Makiku dalam hati.
"Entahlah," kataku sambil mengedikkan bahu pada Sherly. Nggak penting juga ngurusin tingkah bejat Andeaz. Lagipula itu bukan urusanku. Selagi dia bisa profesional dan nggak mengganggu kehidupan ku lagi. Sudah cukup aku berurusan dengannya beberapa waktu yang lalu. Aku nggak mau berurusan sama dia lagi.
"Minimal lo kasih teguran kek sama dia. Ini kantor loh, masa dia berbuat mesum di kantor. Jangan-jangan entar semua perempuan disini digrepe sama dia. Ih amit-amit jangan sampai gue masuk daftar salah satunya. Lo juga hati-hati Naz jangan sampai deket-deket sama dia."
"Oke."
Aku dan Sherly memasuki lift khusus direksi. Di dalam lift tersebut Sherly nggak berhenti berkumandang mengomentari Andeaz. Andeaz yang gini lah, Andeaz yang gitu lah. Yang katanya ganteng tapi nggak bermoral lah. Kalau bagian nggak bermoralnya sih aku setuju. Tapi untuk gantengnya, aku pikir-pikir dulu deh. Nggak layak manusia macam dia disebut ganteng.
Sampai nggak terasa sambil mendengar ocehan Sherly, suara lift berdenting menandakan kami sudah sampai pada lantai yang kami tuju. Sherly segera kembali ke kubikelnya dan aku kembali ke ruanganku sendiri.
Saat memasuki ruangan, aku melihat Papa yang tengah duduk di sofa sudut kantor sambil membuka halaman majalah bisnis yang selalu tersedia di dalam ruangan ini.
Dan alasan kenapa aku dan Sherly tadi bisa menyaksikan pemandangan tak senonoh Andeaz, itu semua karena ulah papa ku sendiri. Kalau saja Papa nggak menyuruhku untuk memanggil langsung Andeaz ke ruangannya, mungkin kejadian nggak bermoral tadi nggak akan merusak kesucian mataku. Lagian Papa ini jadi manusia kok ribet sih. Nggak mau memanfaatkan teknologi yang ada. Telepon bisa kan untuk menyuruh Andeaz kesini. Nggak perlu juga nyuruh aku ke ruangan si manusia playboy itu. Nggak kasihan apa sama anak gadismu ini, Papa ku sayang yang harus capek-capek jalan kesana.
"Papa nggak capek?" Tanyaku sambil berjalan menghampiri tubuh tua sang Papa. Meski begitu Papa masih terlihat bugar dengan wajah keriput dan juga rambut yang penuh dengan uban. Papa memang sangat menjaga kesehatan tubuhnya. Meski usianya sudah nggak muda lagi, tapi beliau rajin berolahraga. Dan usianya inilah membuat beliau selalu mendorongku untuk segera ke atas pelaminan. Kalau aku sih mau aja ke atas pelaminan asal ada pasangannya. Lah ini pasangan aja belum ada. Lagipula mana ada pria tulus yang mau menikahi wanita gemuk seperti aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
My BIG Boss (Completed)
General FictionRate 21+ Yg anti cerita dewasa, jangan coba2 baca ya. WOW!!! cuma satu kata itu yang muncul di otak gue saat gue bertemu secara langsung dengan bos di tempat gue kerja. Bos gue itu memang nggak termasuk jajaran body goals, tp bisa dibilang gendut...