"Responsi itu vaksinasi batin. Pertanyaan tajam, degup tak stabil, tapi tawa dan gombalan jadi antibodi paling lincah melindungi nalar dari ambruk yang dramatis."
Halo, kamu yang barangkali tersesat di antara halaman, atau sengaja mencari napas di sela logika dan lelucon yang terlalu serius. Di sini, kita tidak sedang membahas anatomi manusia, melainkan anatomi perasaan yang sering kali lebih sulit dipetakan. Karena cinta, seperti halnya sistem saraf simpatik, bisa bereaksi tanpa izin. Dan kadang, yang membuat jantung berdegup bukan karena adrenalin, tapi karena seseorang menyebut namamu di tengah sidang responsi.
Mari duduk sejenak, tak perlu tegang seperti mahasiswa menunggu revisi. Aku tak janji akan memberimu jawaban, tapi mungkin, kamu akan menemukan senyuman kecil di antara kalimatnya. Atau tawa pendek yang meledak tanpa sadar. Dan itu, kurasa, sudah cukup jadi alasan untuk melanjutkan cerita ini.
Selamat Membaca
.
.
.
Setelah dua hari dirawat karena kelelahan dan sedikit infeksi lambung, Khanza akhirnya diizinkan pulang dari rumah sakit. Tapi bukannya istirahat total, keesokan harinya ia justru langsung hadir dalam responsi tahap akhir bersama teman-temannya sebelum mereka dijadwalkan kembali berpindah ruang.
Suasana aula rumah sakit siang itu cukup tegang namun sekaligus antusias. Seluruh siswa PKL dari kelompok satu hingga empat dikumpulkan menjadi satu. Di hadapan mereka, duduk berjejer enam penguji yang terdiri dari empat dokter dan dua perawat: dr. Huda, dr. Arjun, dr. Davi, dr. Purna, perawat Andre, dan Rizky, kepala ruangan sekaligus pembimbing lahan.
"Manusia menghasilkan kelenjar air liur pada dua tempat, salah satunya di bawah lidah. Berapa produksi air liur yang dihasilkan manusia dalam sehari semalam?" tanya dr. Huda dengan nada datar kepada Alex.
Alex, yang sejak awal merasa kurang beruntung karena selalu dilempari pertanyaan sulit, langsung melongo. Ia melirik kanan kiri berharap pertanyaan itu salah alamat.
"Loh, kok, lain pertanyaan sama mereka semua, Dok?" protesnya lirih, tapi cukup terdengar oleh yang lain.
"Terserah saya mau nanya apa ke kamu," balas Huda, nada suaranya tenang tapi tajam. Matanya menusuk ke arah Alex, membuat suasana mendadak tegang.
Beberapa siswa langsung bergumam, sebagian lain menatap Alex dengan simpati.
"Biar saya yang jawab," potong Khanza, mengangkat tangan dengan percaya diri.
"Saya nanya ke Alex, bukan Khanza!" tukas Huda cepat, dingin.
Khanza mendecak pelan. "Kulkas sialan," gumamnya, lalu menurunkan tangannya dengan malas.
"Alex Rudiart Deandra, apa tidak ada mahluk di ruang ini atas nama itu? Atau perlu saya kosongin nilai PKL-nya?" Huda menatap Alex seperti harimau mengintai mangsanya.
Alex langsung berdiri kaku. "Saya. Jadi... manusia memproduksi air liur dalam sehari semalam sebanyak satu liter," jawabnya pelan.
"Yang jelas! Kalau di luar aja suaramu keras," sergah Huda.

KAMU SEDANG MEMBACA
FLAMBOYAN
Teen FictionTakdir, sekali bergerak, tak pernah bisa dihentikan. Ia mengalir seperti angin, tak terlihat, tak tersentuh, tapi mampu menggoyahkan yang paling kokoh. Bahkan seluruh kekuatan dunia pun tak mampu menahannya. Ia hanya datang... lalu mengubah segalany...