Chapter 2

109 27 4
                                    

Pemimpin orang-orang berstelan jas rapi tadi berbalik hendak meninggalkan ruangan itu, sebelum suara si bocah menghentikan langkahnya. "PEMBUNUH." Orang itu berbalik lagi. Didekatinya anak yang sudah tidak berdaya itu. Dijambaknya rambut hitam yang kini sudah basah karena darah dan air asam.

"Biar aku tunjukkan padamu, apa itu pembunuh."

"AAARRRGGHHH" pekikan memilukan menjadi satu-satunya suara yang diperdengarkan di ruangan itu. Sang bocah sudah benar-benar menyedihkan. Andai ia punya sedikit saja kemampuan untuk menghadapi orang-orang dewasa yang tidak punya hati ini.

.

.

.

27 Januari 2016

Seorang pria paruh baya terlihat sibuk mengelapi koleksi pisau di ruang kerjanya. Deretan benda tajam berlapis emas itu terlihat begitu disayang oleh pemiliknya. Ukiran-ukiran yang cukup rumit pada pegangannya bisa dipastikan membuat nilai pisau itu semakin tinggi.

"Nyonya besar akan kembali akhir bulan depan Tuan" seseorang yang sejak tadi menemani si pria paruh baya itu akhirnya membuka pembicaraan.

Masih sambil mengelap pisau berikutnya, pria itu tak mengalihkan fokusnya dari benda kesayangan. "Jemput Soran sebelum dia tiba disini." Pria itu mengangguk patuh. "Dimana Yi Geum?"

"Geum masih di Jeju. Kelompok yang menjadi target disana agak sulit diatasi." Si anak buah menjawab dengan nada yang begitu patuh.

"Suruh dia segera kembali setelah misinya selesai."

"Baik Tuan"

Pria paruh baya itu mengisyaratkan dengan tangannya agar si anak buah meninggalkannya sendiri. Lagi-lagi dengan patuh anak buahnya itu menuruti perintah sang majikan.

Selepas kepergian si anak buah, pria paruh baya itu menyudahi kegiatannya bersama benda kesayangan, menutup kotak yang juga terbuat dari emas itu dan menyimpannya kembali ke tempatnya semula, di rak buku teratas.

Ia kembali ke meja kerjanya. Dibukanya salah satu laci meja tersebut dan mengeluarkan sebuah pigura dari dalamnya. Tangan itu mengusap lembut permukaan pigura. Percaya atau tidak, lelaki yang kelihatan kejam meski diusia tuanya itu menangis.

Langit malam itu menjadi saksi bisu betapa menyedihkan pria yang biasanya hanya tahu membunuh tanpa belas kasih itu. Ia memegangi dadanya yang terasa sesak. Bagian dari dirinya seolah memberontak keluar. Pria yang berkuasa itu baru saja menunjukkan kelemahannya. Bagaimanapun melimpahnya harta yang ia miliki kini, bagaimanapun tunduknya semua anak buahnya padanya, bagaimanapun mudahnya ia mendapatkan apapun yang ia mau, kenyataannya ia tetap pria yang kehilangan sebagian hidupnya. Pria menyedihkan yang tidak mampu memeluk putrinya sendiri.

.

.

.

"Makan malam siaaaaaap." Suara menggelegar Yeonsa berhasil membawa Seungwan dengan malas-malasan turun dari kamarnya dan bergabung bersama sang kakak di meja makan.

"Apalagi sekarang?" Tanyanya acuh.

"Mmmm, aku namai ini, Crying Bad Chicken." Jawab Yeonsa sambil menyengir.

Seungwan geleng-geleng kepala melihat kelakuan kakaknya itu. Yeonsa pura-pura serius, "Bukan tanpa alasan aku menamainya begitu." Dan Seungwan bukan orang bodoh yang akan termakan oleh tampang palsu kakaknya.

"Alasanmu pasti sama konyolnya dengan nama yang kau berikan"

"Hahahah, Baek Seungwan. Kau memang pintar." Yeonsa menepuk-nepuk kepala adiknya.

OPERA: It's All About FalsenessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang