Depresi

19.6K 1.4K 62
                                    

Haik..haiikk...
Selamat hari sabtu ibu-ibu..

😂😉

Cuss lah.. Langsung pencet bintang dan siap eksekusi.

Bakal sedikit menguras esmosih ya😂

Happy reading all😮

Arinda menatap keluar jendela, menatap derasnya hujan yang turun sejak dua jam lalu.

Genap sebulan ini, wanita itu nampak semakin kacau, ia mengalami depresi 'ringan' karena tekanan batin yang ia pendam selama ini.

Seolah ini adalah puncak meledaknya sejuta emosi yang berkecamuk didadanya selama ini.

Semua kilasan memori masa lalu yang tidak menyenangkan seolah kembali terputar seperti kaset kusut di kepalanya.

"Rin..", Arinda tak bereaksi, dan itu sudah biasa.

Damian tetap berusaha mendekati adiknya yang sudah dua hari ini duduk dalam posisi yang sama, tanpa beranjak sedikitpun.

"Dek...", seketika Arinda menengok.

Entahlah, dari sekian banyak usaha orang terdekat Arinda, Arinda hanya akan menoleh saat Damian yang memanggilnya, memanggilnya dengan sebutan 'adik'

Hal itu membuat Arinda seolah kembali menjadi Arinda kecil, Arinda remaja yang selalu mengadu manja pada kakaknya saat fisik maupun hatinya terluka. Itu membuat Arinda merasa begitu terlindungi dan dicintai.

Pandangan Arinda mengabur, tangisnya pecah, tanpa menunggu lagi, Damian memeluk adiknya dengan penuh cinta, lelaki itu diam-diam ikut menangis. Hatinya akan seribu kali lebih sakit saat melihat Arinda-nya bersedih, bahkan menangis penuh kepedihan seperti ini.

"Ssstt... Jangan seperti ini dek.. Mamah, Mulan, dan semuanya  bersedih melihat kamu seperti ini.", bisik Damian, baginya Arinda tetaplah adik kecilnya, adik yang begitu ia cintai dan akan ia lindungi sampai akhir usianya nanti, tak peduli sekarang mereka sudah sama-sama menjadi seorang orang tua.

Arinda menggeleng, "Aku mau Vanes-ku kak.. Anakku...", tangis Arinda tak mereda sedikitpun.

"Percaya sama kakak sayang.. Kakak akan bawa Vanes kembali padamu..", ucap Damian menengankan Arinda.

Lagi-lagi Arinda menggeleng, wanita itu mengetatkan pelukannya pada sang kakak.

"Vanes benci sama aku.. Aku ibu yang buruk kak.. Vanes bilang dia malu.. Dia malu lahir dari rahimku.. dia nggak akan kembali lagi kak.. Dia benci sama aku.. Ibunya..", tangis Arinda semakin menjadi-jadi bahkan hingga terbatuk-batuk.

"Aku nggak bisa hidup kaya gini kak.. Sakitt.."

seperti yang sudah-sudah, Arinda akan menangis histeris ia meronta-ronta dalam pelukan Damian.

Dengan teriakan histeris, Arinda menjambak rambutnya sendiri.

"Arinda stop!", Teriak Damian.

Arinda tak menggubris teriakan sang kakak, wanita itu berlari ke arah dapur.

"Mulan! Tahan Arinda!", teriak Damian pada Mulan yang baru saja pulang menjemput putra mereka.

Mulan yang paham situasi menyuruh Ashraf masuk ke kamarnya. Dan dengan sekuat tenaga ia berlari mengejar Arinda.

"Arinda.. jangan main-main! Itu bahaya!", teriak Mulan melihat adik ipar sekaligus sahabatnya itu mengambil pisau dan mengarahkannya ke urat nadinya.

Arinda menangis, wanita itu menggeleng. "Aku mau mati aja.. Hikss..nggak ada gunanya aku hidup lagi.."

"Arinda! Kembalikan akal sehat kamu!", bentak Mulan.

"Rin.. Taruh ya.. Bahaya..", bujuk Damian, berusaha merebut pisau itu dari tangan sang adik.

"Rin.. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya.. Percaya sama aku.. Tenang ya.. Jangan bertindak bodoh gini..", bujuk Mulan lebih lembut, ibu dua orang anak itu nampak menahan tangisnya, wanita itu benar-benar tak sampai hati melihat sahabatnya yang biasanya nampak kuat dan tegar kini nampak sedemikian hancurnya.

Arinda terkekeh meremehkan, ia nampak marah dengan ucapan Mulan.
"Sabar? Tenang?", Arinda beretotis.

"Kamu nggak akan ngerti gimana perasaan aku selama ini! Kamu ngomong kaya gitu karena kamu nggak tau rasanya dibenci oleh anak kamu sendiri! Rasanya kehilangan! Kamu nggak akan ngerti!", Ujar Arinda tergugu menahan tangis.

Wanita itu kembali menangis, bersimpuh lemah.

Tanpa membuang waktu lagi, Damian menjauhkan pisau yang tadi digenggam Arinda.

"Lan, tolong ambilkan obat Arinda..", lirih Damian pada sang istri.

Mulan mengangguk, dan segera menjalankan perintah Damian. Sementara Damian memeluk Mulan, seolah memberi kekuatan.

Adiknya benar-benar hancur, jatuh dalam titik terdalam dalam kehidupannya karena sang putri.

Damian tau betul, kehidupan Arinda berporos pada sang Putri, Vanesha.

Perjuangan Arinda untuk menghidupi Vanesha bukanlah hal yang sepele, Damian saksinya.

Lelaki itu berulang kali menawari Arinda untuk memegang perusahaan peninggalan Almarhum ayah mereka, namun Arinda menolak.

'Aku pengen menghidupi Vanesha dengan jerih payahku kak.. Nggak papa aku sekarang menjadi seorang penari, tapi aku pastikan Vanesha hidup berkecukupan, aku menabung demi kehidupan Vanesha kelak kalau aku mati'

Hati Damian acap kali bergetar melihat keteguhan Arinda, wanita itu tak sedikitpun mengeluh selama ini, dan Damian bangga atas itu.

Meski bekerja sebagai penari di Bar, Damian percaya Arinda mampu menjaga dan membatasi diri, dan kejadian kemarin murni salah paham.
.
.
.

Arinda terbangun kala merasa tak nyaman di bagian kaki dan tangannya.

Semuanya terasa seperti diikat dengan kuat, seketika Arinda menangis lirih kala melihat tangan dan kakinya ditali dengan sebuah kain.

"Kak Damie.. Jangan iket Arin... Arin nggak gila kak...", lirih Arinda, tak lama Mulan masuk membawa nampan berisi makan malam untuk Arinda.

Kedua wanita itu saling menatap dalam diam, dengan air mata sama-sama berderai.

"Lan.. Tolong.. Lepas.. Gue nggak gila..", lirih Arinda.

Mulan mendekat, ia menaruh nampan itu di nakas, dan segera memeluk Arinda.

"Gue tau.. Tapi please, kita nggak bisa liat elu lost control kaya tadi Rin, kita semua cinta dan sayang banget sama elu.", jawab Mulan menangis, sungguh sebenarnya ia tak tega, namu  ini keputusan Damian.

"Gue nggak gilaa.. Gue cuma seorang ibu.. Seorang ibu yang ditinggal pergi anaknya, gue cuma seorang ibu yang kangen sama anaknya.. Gue nggak gilaa..", adu Arinda kembali menangis dalam dekapan Mulan.

"Gue tau...",ucap Mulan menghapus air mata di wajah Arinda.

"Elu harus sabar.. Tenang.. Kak Damian sedang berusaha mencari Vanesha..", Arinda mengangguk dengan mata berbinar.

"Sekarang makan dulu ya, gue suapin", Arinda mengangguk lirih.

Cut 🐳
Makin greget apa makin gajelas ni😅

Imperfect Mommy [END/COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang