Titah

24.2K 1.6K 58
                                    

Haii haiii
Cuss lah eksekusi ya😂

Damian mengusap surai lembut Vanesha dengan tatapan sendu.

Sejak kemarin keponakannya ini tak beranjak sedikitpun dari brankar milik Arinda, jangankan beranjak, untuk makan pun Vanesha menolak, ia hanya meminum sedikit air putih untuk melegakan tenggorokannya yang memang perih karena efek menangis seharian kemarin.

"Vanes..", lirih Damian.

Gadis itu menatap Damian sendu, "kenapa mommy belum bangun uncle?"

Damian menghela nafas, ia sendiripun tidak tau harus menjawab apa, karena Stev mengatakan kalau apapun bisa terjadi setelah operasi transplantasi hati, dan mereka hanya bisa berdoa disamping tim medis yang juga sudah berusaha semaksimal mungkin.

Ya, dua hari tepat setelah Alif mengetahui tentang penyakit kanker hati yang diderita Arinda, lelaki itu begitu tanggap dan cekatan mencarikan pendonor hati untuk Arinda, dalam tempo waktu tak lebih dari 24 jam, orang suruhan Alif berhasil mencari pendonor hati untuk Arinda.

Bukan uang yang sedikit tentunya untuk mendapatkan pendonor hati yang sehat dan cocok untuk Arinda, tapi tentunya itu tak masalah untuk Alif, yang terpenting baginya adalah kesembuhan Arinda saat ini.

Bukan perkara mudah juga untuk meluluhkan hati Damian yang sebenarnya tak mengizinkan Alif ikut campur dalam kesembuhan Arinda, namun sudah dua orang pendonor yang anak buahnya bawa, namun tak ada satu pun yang cocok dengan Arinda, sedangkan Alif, dengan kekuasaannya menembus pasar gelap bukanlah hal sulit bagi anak buahnya.

Damian tersadar dari lamunannya saat mendengar suara hendel pintu terbuka.

Sosok yang ia lihat adalah seorang lelaki dengan wajah lusuh dan kacau, sama sekali tak mencerminkan bahwa lelak yang kini berjalan kearah Vanesha adalah seorang pengusaha yang masuk jajaran orang terkaya di ASEAN.

"Dad... kenapa mom belum bangun..", lirih Vanesha bertanya pada Alif sambil memeluk pinggang daddy-nya dan menyusupkan wajah sendu nya di perut sang daddy yang berdiri kokoh disampingnya.

"Sabar ya sayang.. Vanes nggak boleh berhenti berdoa untuk mom ya... Bisiki mom dengan kata-kata yang indah-indah, bisikan pada mommy tentang kenangan indah kalian, beri mommy semangat untuk melewati masa kritisnya.", bisik Alif, menatap sang putri yang nampaknya begitu betah duduk disamping brankar Arinda.

"Al, gue titip Vanes sama Arin. Gue harus pulang, Mulan nggak enak badan.", pamit Damian.

Meski masih terlihat kurang bersahabat dengan Alif, namun sikap Damian kian mencair dari hari kehari, seiring satu-persatu fakta yang ia ketahui perilah permasalahan Alif dan Arinda 16 tahun lalu, meskipun ia masih 100% menyalahkan Alif atas semuanya.

Alif mengangguk, lelaki itu mengulurkan tangan hendak menjabat tangan Damian, namun tak diindahkan Damian, pria dua anak itu melengos begitu saja, membuat Alif tersenyum  simpul, ia sudah sangat kebal dengan semua tingkah 'menyebalkan' dan 'kekanak-kanakan' dari seorang Damian Alexander.

"Maafin uncle ya dad..", lirih Vanesha menatap Alif yang kini duduk dikursi yang tadi ditempati Damian.

"Its okay baby girl.. Uncle D hanya akan menjabat tangan daddy nanti saat dad akan menikahi mom.", canda Alif, membuat Vanesha mau tak mau tersenyum.

Gadis itu mengamininya dalam hati, sejak ia tau tentang 'kesalahpahaman' yang terjadi antara orangtuanya 16 tahun, tentang apa yang mendasari dirinya lahir dan mejalani hidup seperti sekarang, Vanesha tak mempermasalahkannya, ia tak masalah lahir di luar pernikahan orangtuanya, yang bahkan hingga kini masih betah menjomblo satu sama lain, meski tak lagi muda.

Ia yakin 100% nanti saat mommynya siuman, mereka pun akan berkumpul dan bersatu layaknya keluarga pada umumnya,karena Damian sudah berjanji padanya untuk meluruskan semua salah paham antara mom dan dad-nya baik pada Arinda, maupun Alif.

Lamunan Vanesha buyar kala tangan lemas nan dingin yang ada di genggamannya bergerak.

"Mommy?"

Arinda tersenyum lemas menatap Vanesha yang kini nampak meneteskan air mata.

"Rin..", netra hitam Arinda bertubrukan dengan netra hitam Alif yang nampak menatapnya cemas bercampur haru, namun seketika lengkungan senyum manis dibibir Arinda sirna, berganti tatapan cemas, takut serta secercah emosi disana.

Mata Arinda memanas, ia menggenggam erat telapak tangan Vanesha seolah takut kehilangan, sorot matanya masih menghunus tepat dimata Alif.

"ada yang sakit? sabar ya, sebentar lagi dokter datang...", ucap Alif mengambil tangan Arinda yang masih diinfus dan mengecupnya pelan.

Tanpa diduga Arinda menggenggam erat tangan Alif, sorot matanya kian menyendu, bahkan kini Alif dan Vanesha bisa melihat kristal bening nampak meluncur bebas disudut mata Arinda.

"jangan bawa Vanesha pergi lagi..", lirih Arinda hampir tak terdengar.

Alif menggeleng tegas, "nggak.. Nggak akan ada yang pisahin kamu sama Vanes.."

"Vanes janji nggak akan ninggalin mommy lagi apapun kondisinya.. maafin sikap Vanes kemarin ya mom..", sahut Vanesha sambil memeluk Arinda erat, menyalurkan segenap rindu yang membuncah di dadanya.

Air mata Arinda kian meluncur deras, nafasnya tercekat membalas pelukan Vanesha, menggunakan tangannya yang bebas dari jarum infus, pemandangan mengharukan itu sukses membuat Alif yang sejak tadi masih menggenggam tangan Arinda ikut menangis haru.

Hingga pandangan Alif jatuh pada sosok lelaki paruh baya bersnelli putih nampak berdiri di depan pintu menyunggingkan senyum ramah.

Alif buru-buru menghapus air matanya.

Lelaki itu mengusap kepala putrinya yang masih menyusup di sela-sela leher Arinda, "Sayang.. Biar mommy diperiksa dulu ya sama dokter.."

Vanesha mendongak lalu mengangguk, tangan lentiknya menghapus lelehan air mata sang mommy yang membasahi pipi tirusnya.

Selama Arinda diperiksa, Vanesha dan Alif menunggu diluar.

"Dad..", lirih Vanesha bersandar di pundak sang daddy.

Alif berdeham.

"Vanes nggak bisa nunggu lama-lama.. Pokoknya dad harus segera nikahin mommy. Titik, Vanes nggak mau denger penolakan, daddy harus luluhin hati mommy gimanapun caranya.", titah Vanesha, gadis itu bak seorang ratu yang memerintahkan pasukannya untuk berperang.

Alif menghela nafas, "ada banyak hal yang harus daddy lurusin sama mommy kamu sayang.. Pelan-pelan.. Daddy nggak mau mommy terpaksa menikah dengan daddy..", jelas Alif membuat Vanesha berdecak.

"Ya lurusin secepatnya! Daddy selama ini nggak ada usaha konkrit sih!", cecar Vanesha.

"Daddy sedang berusaha sayang.", jawab Alif

"Sebulan! Vanes kasih daddy waktu satu bulan buat yakinin mommy lagi. Kalau daddy nggak bisa, biar om Stev aja yang jadi daddy-nya Vanes!", gertak Vanes sambil beranjak dari duduknya.

Alif melongo seketika, "anak siapa ini Ya Tuhan?!", batin Alif berteriak tak terima.

Vanes mengadahkan tangannya pada Alif, membuat lelaki yang berusia hampir setengah abad itu mengangkat satu alisnya, pertanda tak mengerti.

"Uang. Vanes laper, pengen jajan."

Alif tak dapat menahan senyumnya, lelaki itu merogoh saku celananya dan menyerahkan dompetnya pada sang putri yang nampak berdiri angkuh di depannya.

Cut deh...

Imperfect Mommy [END/COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang