Something That's Not My Fault 2

152 5 0
                                    

Saat sedang menunggu pesananku datang, tanpa sengaja mataku beradu pandang dengan Devhina yang sedang menatap ke arahku juga.

Ternyata ia sedang makan siang juga bersama dua orang rekannya. Yang kutahu pasti, Lisa. Namun, ada satu lagi pria, namun aku tidak dapat melihat wajahnya karena posisi duduk orang itu membelakangiku. Mereka bertiga sedang lunch di resto yang tepat berhadapan dengan resto tempatku makan sekarang.

Setelah beradu pandang denganku barusan, kulihat Devhina seperti meminta izin ke toilet pada dua temannya itu. Namun, setelah kutunggu hingga hampir dua jam. Bahkan saat aku sudah selesai makan, dia tidak kunjung kembali.

Fix, dia sedang menghindariku.

Aku pun membayar tagihan makan siangku dan berniat untuk langsung pulang. Aku ingin lihat bagaimana reaksinya nanti setelah ia pulang dari boutiquenya.

>>>>>

Devhina's POV

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, dan aku masih duduk termenung di meja kerjaku. Tidak ada yang kukerjakan saat ini selain memikirkan mau kemana aku sekarang. Jujur saja, aku masih enggan untuk pulang apalagi bertemu dengan kak Marchel. Jujur saja aku masih sakit hati dengan perlakuannya. Dia melampiaskan semua amarahnya padaku, yang jelas - jelas bukan salahku. 

Dia melakukan sesuatu yang... aarghh!! Membayangkannya saja hatiku sakit sekali. Seumur - umur aku tidak pernah diperlakukan serendah ini sama orang lain. Dulu, sewaktu sekolah aku terkenal dengan julukan 'fighter'. Aku seorang yang berani dan pintar, oleh sebab itulah tidak ada seorang pun yang berani merendahkanku sedikitpun. 

Namun, entah mengapa kali ini aku seperti seorang wanita yang lemah dan bodoh di hadapan kak Marchel. Aku ingin melawan semua perbuatannya. Rasa cinta dan takut kehilangan dirinya jauh lebih besar dari jiwa pemberontakku. Dia pria yang sangat kunanti - nantikan bahkan sejak aku remaja. Bisa bersanding dengannya 99% hanya mimpi bagiku. Tapi, ternyata Tuhan berkata lain, Ia memberikanku 1% nya. 

Mengingat semua itu, membuatku tidak kuasa menahan tangis. Aku menangis sendirian di boutiqueku. 

Setelah puas menangis, aku memutuskan untuk pulang ke rumah kak Marchel, karena memang tidak ada pilihan tempat lain. Aku enggak mungkin pulang ke rumah mami, pasti pada gempar dan menyerangku dengan berbagai pertanyaan. Lagi pula, aku tidak mungkin terus menerus menghindari kak Marchel. Dan mungkin juga ia sedang tidak di rumah, karena setauku tadi aku melihatnya waktu lunch dengan Lisa dan Chris yang kebetulan sedang ada praktik di rumah sakit sekitar boutiqueku.

Aku mengendarai mobilku dengan penampilan yang sedikit kacau. Rambut sedikit berantakan, mata sembab khas orang habis nangis, tubuh sangat lelah karena aku benar - benar menghabiskan seluruh waktuku hari ini buat bekerja, kalau bukan karena Lisa dan Chris yang memaksaku untuk makan siang, aku mungkin tidak akan keluar dari boutique sama sekali. Itupun aku menyelesaikan makan siangku duluan agar bisa secepatnya lanjut bekerja, dan mungkin juga agar tidak semakin lama beradu pandang dengan kak Marchel yang sedang lunch di restaurant depan restaurant tempatku makan siang.

>>>>>

Aku membuka pintu rumahku dan sedikit terkejut karena tidak terkunci. Tidak lama setelah memasuki rumahku, aku mendengar suara tv di ruang keluargaku nyala. Siapa lagi kalau bukan kak Marchel? Penghuni rumah ini hanya aku dan dia. Dia sedang duduk santai di sofa ruang keluarga kami sambil menonton tv. Ia sedikit melirikku.

"Maaf baru pulang." ucapku singkat. Jujur saja, aku masih belum bisa bersikap hangat padanya. Setidaknya aku perlu waktu.

"Sudah makan?" pertanyaan keduaku yang tidak mendapat balasan juga.

Let's Get MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang