Pregnant 2

143 4 0
                                    

"Yaudah, lu sekarang tunggu di rumah ya. Gue kesana sekarang bareng Chris, kebetulan dia lagi main ke boutique nih. Lo lagi ngidam gk? Pengen makan apa gitu? Biar gue bawain sekalian." ucap Lisa yang sangat perhatian.

"Mau es krim vanilla chocochip dong ateu Lisaaa." ucapku seolah - olah kalau anakku yang memintanya sambil membayangkan betapa segarnya makan es krim dengan rasa favoritku itu.

"Siaaaaaapppp ateu Lisa meluncurrr. Tungguin ateu ya debay." jawabnya semangat.

"Lu hati - hati ya.. titip salam juga buat Chris." ucapku yang diiyakan oleh Lisa dan memutuskan sambungan telephone kami.

>>>>>

Still Devhina's POV

Aku tersenyum tipis setelah memutuskan sambungan panggilanku dan sahabatku itu. Panggilan dari Lisa benar - benar menjadi penghiburku pagi ini. Tepat sesampainya aku dari rumah sakit.

Ya, memang sesuai dugaanku. Tentang bagaimana respon kak Marchel pada kondisiku saat ini. Tidak begitu baik. Ah, tidak. Memang tidak baik. Untunglah aku sudah menduganya, jadi aku sudah menyiapkan mental untuk menghadapi reaksinya, sekalipun tetap saja terasa sakit dan menyesakkan dada. 

Pagi ini aku sudah diizinkan oleh dokter untuk pulang ke rumah, setelah aku harus dirawat inap dari semalam karena tiba - tiba jatuh pingsan saat sedang dinner dengan papi dan mami. Dan, ya.. karena sekarang, aku sedang mengandung. Hal yang paling membahagiakan di dunia ini selain dapat menikah dengan kak Marchel. 

Tapi, seperti biasa, hanya aku yang merasa bahagia, sementara kak Marchel merasakan sebaliknya. Aku tahu, perlakuan dan kata - katanya tadi malam saat aku sadar hanyalah akting di depan orangtuaku, bahkan saat itu aku tahu kalau ia sangat sulit untuk menutupi jika ia tidak bisa menerima kehamilanku saat ini. Hal ini terbukti saat orangtuaku sudah pulang dan hanya tinggal kami berdua.

***Flashback***

"Saya enggak bisa di sini terlalu lama. Besok saya banyak kerjaan. Kalau perlu sesuatu, tahukan cara memanggil perawat atau dokter?" ucapnya yang lebih seperti pernyataan daripada pertanyaan.

Tak lama setelah itu, ia mengeluarkan dompet dari saku celananya dan meletakan beberapa lembar uang seratus ribu di nakas sebelah tempat tidurku.

"Pulanglah dengan taksi." ucapnya kemudian dan hendak keluar dari ruang rawatku.

"Terima kasih sudah mau mengantarku ke rumah sakit. Dan.. hati - hatilah saat menyetir." ucapku mencoba tegar sambil menahan tangisku dengan susah payah. Setelah mengucapkan itu, aku melihatnya sempat menghentikan langkahnya sejenak hingga benar - benar pergi meninggalkan ruanganku. 

Aku menyerah. Aku tidak kuat untuk menahan tangisku lebih lama lagi. Aku menangis sejadi - jadinya di kamar ranapku. Seorang diri. Kesepian. Sedih. Hancur. Semuanya menjadi satu. 

'Bahkan disaat pertama kali dia tahu aku sedang mengandung darah dagingnya, dia tetap memperlakukanku dengan buruk.'

Kalimat itu seolah - olah terus dibisikan ke telingaku. Dan membuatku hancur sehancur - hancurnya, karena menyadari kalau itulah kenyataannya.

Dan, pagi ini jadilah aku pulang sendirian. Sejak subuh aku sudah mempersiapkan kepulanganku. Dari mulai merapihkan dan mengemas barang - barangku yang dibawakan orangtuaku semalam sampai menggunakan toilet, semua kulakukan sendirian. Jujur saja, rasanya sulit sekali. Tubuhku masih terasa sangat lemas. Sebenarnya bisa saja aku meminta tolong pada perawat atau suster untuk membantuku, namun aku sadar, nantinya aku harus mengerjakan semuanya sendirian. Bahkan untuk beban yang lebih berat. Jadi aku harus sudah mulai melatih dan membiasakan diriku untuk menghadapi hal itu dari sekarang.

Let's Get MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang