Sorry for the typo(s)
"Sayang udah selesai belum?!" Teriak Mark sambil terus mengetuk pintu kamar mandi. Sementara kamu yang berada didalam sana sedang dilanda perasaan sedikit kecewa.
Kamu menemukan bercak merah dicelanamu. Itu artinya usaha keras kamu dan Mark belum berhasil. Malam itu, malam dimana kamu dan Mark berbincang serius. Kamu bahkan masih ingat raut bahagia yang tercetak jelas diwajah Mark kala itu.
Padahal sebenarnya, kamu sudah menyiapkan dua buah testpack. Namun seketika harapan itu pupus ketika tau kamu kedatangan tamu bulanan.
Kriet
"Mark.." lirihmu dan langsung membenamkan kepalamu pada dada bidangnya. Mark nampak sedikit terlonjak atas gerakanmu yang terlalu tiba-tiba. "Kenapa, hm?" Tanya Mark penuh kehati-hatian. Lengannya terangkat sedikit demi sedikit, menyisir suraimu menggunakan jemarinya.
Isakanmu terdengar cukup jelas, membuat Mark semakin bingung. Ditambah lagi punggungmu yang bergetar, Mark makin dibuat pusing kepala melihatnya. Mark terus menerka-nerka hal apa yang mampu membuatmu menjadi seperti ini.
"Sssh, ada apa? Jangan nangis gini dong," Mark berusaha menenangkanmu. Dengan sedikit paksaan, Mark berhasil membuat wajahmu menjauh dari dadanya, menatapmu intens dengan iris jelaga yang selalu membuatmu larut dalam pesonanya. Mark menangkup kedua pipimu dan menghapus jejak air matamu dengan ibu jarinya. Lalu kemudian Mark menanamkan sebuah kecupan singkat dibibirmu.
"Kamu kenapa?" Tanyanya lembut.
Wajahmu kembali murung. "Aku–maafin aku Mark." Ujarmu penuh keputus asaan. Rasanya air matamu tidak ingin berhenti mengalir. Dengan cepat Mark menghapus kristal-kristal bening yang kembali merembes dipipimu.
"Kita, kita belum bisa. Kita belum berhasil." Ujarmu lagi dengan suara bergetar menahan tangisan.
Mark seketika paham akan situasi ini. Mark kembali merengkuh tubuhmu dalam-dalam. Berusaha memberitahumu bahwa semuanya akan baik-baik saja, Mark tidak harus menuntutmu untuk segera hamil. Tidak.
Menjadi suami dan orang yang kamu cintai saja Mark sudah amat bersyukur. Kalau untuk masalah anak, Mark menganggap hal itu adalah bonus. Mau diberi momongan atau tidak, perasaan Mark padamu tidak akan berubah. Selalu seperti itu. Tetapi kalian tetap berusaha keras untuk mewujudkannya.
Tak lama kemudian pelukan kalian terlepas. Kamu mendongak untuk menemukan manik mata Mark yang membuatmu merasa tenang. Sebuah senyum mengembang dibibir Mark. "Kita masih bisa berusaha lebih keras lagi. Jangan sedih." Ucap Mark menasehatimu.
Akhirnya kamu mengangguk pelan menyetujui perkataan Mark. Benar apa yang Mark ucapkan, kalian masih memiliki banyak kesempatan.
"Gimana? Jadi nggak jalan-jalan nya?" Tawar Mark lagi, mengingatkan tentang ajakanmu beberapa saat yang lalu.
Responmu sudah tidak se-excited tadi. Kamu hanya mengangguk dan menuruti apa yang Mark katakan. Sementara Mark hanya dapat menghela nafas panjang melihat perubahan sikapmu.
Malamnya, hening menyelimuti ruangan kalian. Kamu dan Mark sama-sama terlentang, menatap langit-langit kamar tanpa mengucapkan sepatah katapun, terlalu larut dalam pikiran masing-masing.
Selang beberapa menit, Mark terlihat mencuri-curi pandang ke arahmu. Sementara kamu masih betah pada posisi semula tanpa mengetahui pergerakan kecil dari Mark. Perlahan Mark mengubah posisi tidurnya menjadi menyamping menghadapmu. Kamu masih belum sadar akan hal itu hingga sebuah telapak tangan besar menyentuh milikmu. Mengelus punggung tanganmu dengan begitu lembut. Kamu mengerjap beberapa kali sebelum menemukan seraut wajah tampan dengan senyuman mautnya disampingmu.
Pandangan Mark tak lepas dari bibir merah delima milikmu. Meskipun tidak teroles apapun, benda itu mampu membuat seluruh perhatian Mark tertuju padanya. Wajahnya semakin mendekat dengan gerakan yang dibuat selambat mungkin. Sesuatu yang terasa basah dan lembut menyapu bibirmu, beriringan dengan hal itu, matamu mulai terpejam dengan sendirinya. Menikmati setiap pagutan lembutnya pada bibirmu.
Tak lama Mark menyudahi aksi antara kalian berdua. Jempol kanannya mengusap saliva yang terlihat mengkilat dipermukaan bibirmu. Sontak pipimu memerah setelahnya.
"Gemes."
Pipimu semakin bersemu merah atas kalimat singkat yang Mark ucapkan. Bahkan gombalan-gombalan kecil seperti itu masih berhasil membuatmu gugup dengan euforia kegembiraan yang menggebu-gebu. Astaga, seperti remaja sekolah menengah yang sedang kasmaran saja.
"Berhubung besok kita udah harus balik ke Indo, kamu bisa minta apapun malam ini." Kata Mark mencoba untuk menghiburmu. Lengannya melingkar di pinggangmu hingga tidak ada celah yang tersisa diantara kalian.
Kamu mengecup rahang tegasnya. "Aku cuma mau kamu." Ucapmu main-main dengan suara yang dibuat seperti anak kecil.
Mark tergelak dan menghujani wajahmu dengan kecupan-kecupan ringan. "Lucu banget sih, anak siapa?" Mark tidak berhenti mengecupi pipimu. Kamu balas tertawa hingga akhirnya Mark menggesekkan ujung hidung mancungnya dengan ujung hidungmu. Pandangan kalian bertemu.
"Jangan terlalu dipikirin ya tentang hal tadi." Ujar Mark masih mempertahankan posisi kalian.
Kamu mengangguk mantap. Dan semakin merapatkan tubuhmu padanya. "Jangan sedih terus. Aku susah tau ngga liat kamu kayak gitu." Ucap Mark lagi. Sedangkan kamu hanya terus mengiyakan kalimat-kalimatnya.
"Paham?" Kata Mark mengakhiri ucapan panjang lebarnya. Kamu kembali mengangguk dan membenamkan kepalamu didadanya. Menghirup dalam-dalam aroma mint yang menyeruak dari tubuh Mark.
"Yes, sir!"
✖️✖️✖️✖️
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage Life : with Mark
Fanfictionft. nct mark [17+] ⇛ BAHASA ↬Mark itu suamiable walaupun lebih muda dari kamu. ⚠cheesy & cringe ©2019 by dyna-ssi