2 - Gus Songong

62.4K 4.1K 187
                                    

Pov Nayya

Pemandangan yang pertama kali ku lihat adalah Wawa yang sedang menangis di samping kiriku.

"Alhamdulillah ... akhirnya kamu sadar juga. Kamu nggak kenapa-napa kan?" tanyanya dengan nada khawatir.

"Nggak papa kok, Wa, nggak usah khawatir gitu dong," kataku yang kuakhiri dengan kekehan.

"Gimana nggak khawatir coba?" sungut Wawa kesal. Aku selalu senang melihatnya kesal seperti itu.

Kruuukk ....

Wawa yang mendengar bunyi perutku tertawa hingga terpingkal-pingkal. Aku juga ikut tertawa karena malu. Dasar perut tidak sadar kondisi.

"Aku carikan makanan, ya? Kamu di sini sebentar." aku mengangguk. "Jangan lama-lama ya wa!" ujarku. Wawa mengacungkan jempolnya sebagai pertanda bahwa ia paham maksudku. Beruntung sekali aku memiliki sahabat seperti Wawa.

Selama menunggu wawa, aku hanya rebahan di atas kasur UKS. Semilir angin dari kipas yang menggantung di langit-langit UKS membuat mataku ingin terpejam. Huhh ... nikmat Tuhan mana lagi yang harus didustakan?

Baru saja akan menutup mata, ada suara orang mengucap salam dari luar. Tapi kenapa suara laki-laki? Aku mengintip sedikit dari balik tirai yang menjadi penghalang, namun sayang, laki-laki itu membelakangi pintu. Tapi, setelah berbalik, aku sadar siapa dia.  Aku mebelalakkan mata melihat lelaki di kelas tadi yang entah siapa lah namanya aku tidak tahu, masuk ke UKS begitu saja. Mana pakai acara bawa makanan pula! Mau apa dia?

Boleh aku ge-er? Apa makanan itu untukku? Ah, tapi mana mungkin! Setelah first impression-ku dengannya di kelas tadi, aku rasa dia bukanlah orang yang peduli. Bagaimana bisa peduli? Punya hati saja tidak. Fix! Dia itu songong.

Eh, tapi kok jalan ke sini? Kurang puas apa hukum aku sampai pingsan? Jujur, aku masih kesal dengannya. Ah, memikirkannya membuatku teringat dengan hukuman menulis istighfar tiga ratus kali yang diberikannya. Memang menyebalkan! Aku bahkan malah ragu kalau dirinya ini seorang ustaz. Tampan sih boleh lah, ya, tapi—eh, apa? Aku bilang Ustaz Songong itu tampan? Heh, maaf, aku ralat. Tampan dari mana? Kalau songong iya!

"Ekhem, kalau ada orang salam itu dijawab, bukan malah merhatiin saya seperti itu. Saya tahu, kok, kalau saya itu ganteng. Tapi ingat, tundukkan pandanganmu! Ghaddul bashar," ucapnya.

See! Selain songong, dia juga narsis. Gelar apa yang bisa kusematkan untuknya? ustaz songong? ustaz sombong? Atau ustaz narsis? Halah ... semua saja sekalian, biar adil.

"Saya yakin kamu memang tuli," celetuknya tiba-tiba. Mataku membola. Enak saja mengataiku tuli. Jiwa barbarku meronta-ronta. Andai, dia bukan ustaz, Ya Allah, pasti sudah kujadikan semur daging.

"Maaf. Waalaikumussalam warohmatullah wabarokatuh.”

Ustaz yang sejak tadi masih belum kuketahui namanya itu tiba-tiba menyerahkan piring berisi nasi beserta kawan-kawannya kepadaku. Aku mengernyit heran. Seolah tahu kebingunganku, Ustaz songong ini menjelaskan maksudnya. "Ini, makanlah! Kata teman kamu, kamu belum makan sejak malam tadi karena sibuk membuat proposal kepanitiaan OSIS. Anggap saja sebagai ucapaan maaf dari saya, soal kejadian tadi pagi. Saya tidak bermaksud seperti itu."

Tumben ngomongnya bener? Tidak kerasukan jin UKS, kan? Katanya, di sini banyak sekali penunggunya.

"Tidak, Ustaz. Harusnya saya yang minta maaf. Saya yang salah karena terlambat."

"Nah, itu sadar. Lain kali jangan terlambat masuk kelas lagi. Tanamkan jiwa disiplin. Terus satu lagi, kalau mau melaksanakan tugas, ingat diri sendiri dulu. Jangan seperti ini. Merepotkan orang lain."

Nah, kan. Ustaz songong nyinyirnya minta ampun. Ya Allah!

"Nggih (iya), Ustaz,"

"Malah bengong. Ini, lho, dimakan! Saya sudah baik mau mengantar nasinya ke sini, karena saya sadar, naainya tidak bakal bisa jalan sendiri," ucapnya.

Mau melawak? Tapi, kok, rasanya garing kriuk-kriuk gitu?

Sudahlah, aku malas debat dengannya. Kuterima piring berisi nasi yang dibawakan oleh Ustaz songong itu dengan malas. "Saya juga nggak minta kok," kataku lirih.

"Ngomong apa kamu barusan?"

"Hah? Saya nggak ngomong apa-apa kok, Ustaz." Ngeles terus seperti bajaj, ya, Nay? Dalam hati, aku tertawa puas.

"Ya sudah, itu di makan. Nanti piringnya kembalikan sendiri ke kantin." Aku hanya mengaguk satu kali. Setelah berkata itu, dia keluar dari UKS. Akhirnya.

Tapi, baru saja aku hendak menyuapkan nasi masuk ke mulut, Ustadz Songong kembali lagi. Mau apa lagi dia?

"Oh, iya, tadi saya belum bayar nasinya. Jadi nanti kalau kamu mengembalikan, sekalian bayar nasinya, ya." Setelah mengatakan itu, ia pergi begitu saja. Aku melongo tidak percaya. Ada gitu modelan ustaz kayak dia? Udah songong, sombong, narsis, pelit lagi! Wah, nggak beres nih ustaz satu ini.

"Dasar Ustaz nggak modal!" pekikku kesal sambil memukul-mukulkan bantal ke dinding.

"Siapa yang nggak modal, Nay? Eh, iya, ini nasinya," sahut Wawa yang tiba-tiba datang sambil menyerahkan nasi yang dibawanya. Tapi sejurus kemudian, ditahannya kembali karena melihat aku sudah membawa sepiring nasi lengkap dengan lauk pauknya. "Lah? Kamu udah bawa nasi? Kamu beli di mana? Kalo di kantin kok bisa kita ndak ketemu? Kok duluan kamu juga?"

"Satu-satu kalau nanya, Wa," tanyaku yang hanya dijawab cengiran oleh wawa. "Dikasih tadi sama Ustaz songong," jawabku jujur

"Hah? Ustaz Songong? Maksud kamu siapa?"

"Tadi yang ngajar di kelas."

"Oh, Gus Alif?"

"Mungkin? Ngga tau lah, bodo amat!"

Tunggu, aku baru ngeh kalau tadi wawa menyebut Ustaz songong dengan embel-embel 'Gus'. Apa dia putra Kiai Maksum?

"Apa katamu tadi? Gus? Maksudmu ... dia itu ...?" aku menggantung kalimatku.

"Iya, Gus Alif. Waktu itu, Gus Alif memperkenalkan diri saat kamu terlambat gara-gara ambil buku di kamar asrama," tutur Wawa.

Aku hanya manggut-manggut. Jadi, namanya Gus Alif? Tapi, kok, bagus aku panggil 'Gus Songong', yah?

"Ecieeeeee ... Gus Alif perhatian itu ...."aku tak menanggapi ucapannya. Aku hanya memutar bola mata jengah, karena mendengar godaan Wawa, sahabatku. Boro-boro baper sama Gus Songong, kalau eneg iya.

"Cieee ... Nayya, ciee ...." godanya lagi sambil menoel-noel pipiku.

"Halaaah ... percuma kalo ngasihnya itu nggak ikhlas. Ini aku dikasih Gus Songong itu, tapi disuruh bayar sendiri ke Bu Siti. Sama aja aku yang beli lah!" bantahku tidak terima.

"Masa, sih?" aku mengangguk. Wawa melanjutkan ucapannya lagi, "Eh, tapi tetep aja ... Gus alif tuh perhatian sama kamu," ucap Wawa diakhiri dengan kekehan.

Halaaaah ... terserah kamu saja lah, Wa! Capek aku ngomong sama kamu. Intinya ... aku itu sebel bin kesel sama Gus Alif songong itu. Valid no debate!

Bersambung🍃

📝 Kudus, 24 november 2019
📍 Revisi: 4 April 2021

Assalamualaikum, Gus ✔ [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang