Sebelum berdiskusi dengan keluarganya perihal acara walimah, Gus Alif bermaksud untuk membicarakan hal ini lebih dulu dengan Nayya.
Namun, sebelum itu, Gus Alif ingin lebih dahulu untuk meminta maaf atas kesalahpahamannya terhadap Nayya dan Khalif beberapa minggu lalu.
Gus Alif memandangi wajah serius Nayya yang sedang membaca kalimat demi kalimat dalam novel yang dibacanya. “Dik,” panggil Gus Alif.
Nayya mengalihkan pandangannya yang mulanya hanya fokus pada buku di tangan, ke arah Gus Alif. “Kenapa, Mas?”
Gus Alif gugup, ia mengisi rongga dadanya dengan oksigen banyak-banyak, lalu membuangnya kembali.
“Mas minta maaf,” ucap Gus Alif dengan tatapan mata yang menelisik dalam pada netra Nayya.
“Maaf?” Nayya bertanya bingung.
“Maaf untuk kejadian di coffe shop lalu.” Nayya menganggukkan kepalanya samar, ia mulai mengerti ke mana arah bicara Gus Alif.
“Mas minta maaf, karena nggak dengerin ucapan Adik. Mas terlalu terbawa emosi, sampai–sampai Mas menulikan telinga untuk sekedar mendengarkan penjelasan dari kamu.” Jeda sejenak, “Mas egois, ‘kan? Mas udah marah–marah, Mas bentak kamu .... Mas gagal menepati janji Mas sendiri untuk tidak membuat kamu menangis ...” Gus Alif belum menyelesaikan kalimatnya dengan sempurna. Digenggamnya tangan Nayya erat.
“Mas terlalu cemburu,” ujarnya lirih.
Nayya mengulas senyum sekilas. Ia beringsut mendekat pada Gus Alif. “Dengarkan Nayya. Cemburu itu wajar dalam suatu hubungan. Tapi, jangan berlebihan, sampai–sampai kita tidak mau tahu penjelasan yang sebenarnya. Kayak gitu bukan selesai masalahnya, tapi malah tambah runyam. Karena saat marah, ego yang lebih mengendalikan diri kita.” Terlihat Gus Alif menganggukkan kepalanya.
“Nayya nggak marah sama, Mas, hanya saja Nayya kecewa. Nayya kecewa, karena Mas Alif nggak percaya sama Nayya. Suatu hubungan itu harus didasari dengan rasa percaya satu sama lain, Mas.”
Gus Alif terdiam. Merenungkan hal bodoh yang telah ia lakukan hanya karena mementingkan egonya. Tanpa berkata apa pun, Gus Alif menarik masuk ke dalam pelukannya seraya mengujarkan kata maaf berkali–kali.
“Maafkan Nayya juga.” Nayya enggan menarik dirinya menjauh dari hangatnya dekapan Gus Alif. Ini terlalu nyaman, Nayya tidak ingin keluar dari sana.
Keduanya terseret dalam suasana haru biru, sampai akhirnya mereka terkekeh bersama.
Gus Alif mengusap air mata Nayya. “Udah, jangan sedih–sedih lagi. Mas mau ngomong serius sama kamu.” Nayya mengubah posisi duduknya saat Gus Alif berkata akan berbicara serius. Ia siap mendengarkan dengan sungguh–sungguh.
“Mas rencananya mau mengadakan walimah. Walimatul ‘ursy, dan walimatul hamli. Sekalian jadi satu gitu. Menurut kamu gimana?”
“Sudah tanya sama Abah dan Ummah?”
Gus Alif menggelengkan kepalanya. “Ini baru rencana, Dik. Makanya, Mas bicarakan ini dulu sama kamu. Kalau kamu setuju, nanti baru dibicarakan sama keluarga lainnya,” tutur Gus Alif.
“Nayya manut sama Mas saja. Yang menurut Mas baik, ya monggo dilakukan.” Gus Alif mengusap puncak kepala Nayya dengan senyum merekah.
***
Kabar jika Gus mereka akan segera memiliki penerus juga menyebar dengan cepat bagai tertiup angin. Semua menyambut dengan antusias. Keluarga ndalem banjir ucapan selamat, khususnya Nayya. Teman–teman Nayya yang tak kalah heboh dengan berita gembira ini, sampai memberi hadiah pada Nayya. Kamarnya dengan Gus Alif sampai berserak benda–benda yang terbungkus kertas kado warna–warni.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum, Gus ✔ [Terbit]
Spiritual[Spiritual-Romance] Assalamualaikum, Gus A story by akufani Telah terbit di Jaksa Media ⚠ Dihapus guna kepentingan penerbitan⚠ ••• Tunggu dulu, tadi abah bilang apa? Menantunya? Dengan siapa? Kan anak abah yang laki-laki cuma aku. Jangan-jangan? Ngg...