Najwa, Aira, dan Nufus sudah kembali ke tempat awal mereka janjian untuk berkumpul lagi. Tinggal Gus Alif dan teman mereka satu lagi, Nayya.
Masing-masing sudah membawa barang yang dibelinya tadi. Najwa membeli dua buku. Satu novel bergenre islam–romance, satu lagi kisah inspiratif para sahabat rasul. Nufus menenteng kantung plastik berisi dua pack buku tulis, beberapa bolpoin, dua stabilo, dan satu buku notes. Sedangkan Aira, membawa berbagai kebutuhan hariannya, juga tak lupa makanan ringan untuk camilan. Terutama pilus dan leripik kentang, dua makanan itu tak pernah absen dari hari-hari Aira.
Ketiganya celingak-celinguk mencari dua orang yang sudah ditunggu kehadirannya. Beberapa jenak kemudian, Gus Alif terlihat tengah berjalan sembari menenteng tas belajaan, kemudian diikuti Nayya yang berjarak tak jauh dari Gus Alif.
“Tuh mereka udah dateng.” Nufus menunjuk ke arah dua sejoli yang beberapa menit lalu disangka sebagai suami istri. Najwa dan Aira mengangguk.
“Assalamu'alaikum,” salam Nayya dan Gus Alif hampir bersamaan.
“Wa'alaikumussalam warohmatullah.”
“Akhirnya dateng juga. Kirain kita ditinggal di sini.”
“Ya nggak lah. Kalau kalian ditinggal di sini, berarti aku juga ditinggal di sini,” kata Nayya ketus dengan pandangan ke arah Gus Alif.
“Ya ... kirain dunia milik berdua. Hahaha ....” Aira tertawa bersamaan dengan Nufus dan Najwa. Nayya mengangkat sebelah alisnya. Tak paham. Ia berpikir sejenak, dan akhirnya mengerti maksud ucapan Aira. Drama gus alif! batinnya memekik.
“Kalian tahu?” tanya Nayya. Dijawab anggukan oleh ketiganya. Nayya menghela napas kasar, lalu melirik tajam ke arah gus alif. Sialan!
“Puas kan gus malu-maluin Nayya? Sengaja ya?” mata nayya berkaca-kaca. Merasa malu dengan peristiwa tadi. Najwa yang awalnya tertawa langsung menghentikan tangisnya, lalu mecoba menenangkan Nayya.
“Dasar cengeng! Gitu aja nangis. Tadi cuma bercanda, Nay. Jangan baper lah,” jawab Gus Alif dengan santainya.
“Masa sih, Gus? Tapi kok kelihatan tulus dari hati yah?" Aira menggoda. Najwa langsung menyikut perut Aira, dan memberinya pelototan tajam. Menyuruh untuk diam.
“Terserah! Aku capek. Balik sekarang apa nanti?” tanya Nayya dengan suara parau dan tanpa ekspresi.
Gus Alif mulai merasa bersalah. Ia telah membuat Nayya menangis untuk yang kedua kalinya.
“Hmm ... saya minta maaf kalau tadi kelewatan bercandanya.”
“Saya tidak peduli! Mau pulang sekarang atau saya pulang sendiri?” Nayya mengancam.
“Nay ....” Najwa membujuk Nayya supaya tidak nekat pulang sendiri. Ia hafal sikap Nayya saat sudah mengancam pasti tidak main–main.
Gus alif mengalah. “Oke, kita pulang. Tapi sebelumnya kita makan siang dulu.”
"Setuju, Gus!!" perut Aira mendapat serangan yang kesekian kalinya. Cubitan Nufus tidak ada tandingannya. Perih dan panas sekali.
“Mboten usah, Gus, langsung pulang saja,” tolak Najwa secara halus.
“Saya lapar.” Gus Alif sudah berjalan ke arah parkiran terlebih dahulu. Dengan pasrah, keempat perempuan itu mengikuti kemauan Gusnya yang seolah tidak dapat dibantah.
Mobil Gus Alif kembali melesat membelah keramaian jalan raya setelah semua sudah masuk ke dalam. Kembali tidak ada suara selain dengung gas mobil dan putaran lagu ‘the rest of my life’ milik Maher Zain.
Sesekali Gus Alif melirik ke arah Nayya yang asik dengan dunianya sendiri. Masih merasa bersalah dengan kejadian yang niatnya bercanda. Gus Alif memberanikan diri untuk minta maaf kepada Nayya sekali lagi.
“Nayya, maaf soal tadi. Saya hanya bercanda,” kata Gus Alif dengan raut wajah bersalah. Kali ini tidak bercanda.
“Hmm.” Nayya hanya menjawab dengan dehaman saja.
“Jangan keseringan bercanda, Gus! Tidak semua orang menganggap bercanda itu sebagai candaan belaka.”
“Dengan kata lain, kamu menganggap ucapan saya serius? Begitu?” Nayya hanya mengedikkan bahunya.
Tiba–tiba Gus Alif memajukan tubuhnya ke arah Nayya. Sontak saja Nayya melebarkan matanya sembari terus memundurkan badannya hingga hampir membentur pada pintu mobil. Aksi Gusnya ini membuat jantung Nayya berulah.
“Kamu ngode buat saya seriusin kamu?” ucapnya pelan. Nayya masih bergeming di tempatnya.
“Hah? Sembarangan kalau bicara!” ucap Nayya saat Gus Alif sudah kembali ke posisinya di belakang kemudi.
Gus Alif tertawa sejenak. “Lho ... tadi kamu bilangnya jangan bercanda terus .... Sekarang saya tanya mau diseriusin malah dibilang sembarangan bicara. Piye tho sampeyan niki?” Gus Alif melirik Nayya lewat ekor matanya sesekali.
“Ya ... ya ... ishh, ndak tau lah saya. Njenengan ribet, Gus!” Nayya mati kutu. Ketiga temannya yang sedari tadi hanya menjadi pendengar debat Gus mereka dan Nayya, sepontan saja langsung tertawa. Nayya bersungut dalam hatinya melihat betapa dinistakannya dirinya di mobil ini.
“Seriusin, Gus, saya dukung seratus persen,” ujar Aira, kemudian disambung tawa. Gus Alif melirik lewat spion, dan tersenyum geli setelahnya. Oh, tidak, senyum mengejek Nayya.
“Teman kamu sok jual mahal sama saya. Padahal banyak yang antre daftar jadi calon saya.”
Pede gila si Gus Songong! Susah dapat jodoh baru tau rasa nanti, batin Nayya.
“Mohon maaf, Gus Alif yang terhormat! Saya pastikan salah satu orang itu bukan saya!” Nayya bersedekap di depan dadanya.
“Kita lihat saja nanti.” kalimat ini menjadi percakapan terakhir mereka di dalam mobil, karena telah sampai di rumah makan yang dituju Gus Alif.
Mereka berempat melangkahkan kakinya mengikuti kemana langkah Gus Alif menuju. Dilihat dari letaknya, rumah makan ini memang strategis. Sehingga, tak ayal jika ramai orang berkunjung ke sini.
“Mau pesan apa?” tanya pelayan resto yang mengenakan seragam sama seperti rekan–rekan kerjanya yang lain, setelah menyodorkan buku menu.
“Nasi bakar cumi sambal ijo,” sahut Gus Alif dan Nayya bersamaan.
“Ekhem!!” Nufus sengaja berdeham untuk menggoda Gus Alif dan Nayya.
Nayya berdecih dan tak memedulikan teman–temannya yang berubah menjadi setan–––suka menggoda. Begitupun dengan Gus Alif.
“Minumnya squash lemon.”
“Squash lemon satu.”
Ucapan mereka kembali bersamaan. Keduanya saling pandang sejenak, kemudian sama–sama membuang muka. Dalam hati Nayya dongkol sekali dengan Gus Alif yang terus saja mengacaukan suasana hatinya. Sudah menjadi salah satu hobinya mungkin.
“Ngikutin terus!”
“Gus yang plagiat. Tadi saya yang ngucap lebih dulu ke mbaknya!”
“Saya maunya itu, gimana dong?”
“Ya saya juga maunya itu, Gus ...!”
Ketiga temannya memandang heran dengan Nayya dan Gus Alif yang selalu seperti kucing dan tikus jika bertemu.
“Stop!” lerai Aira. Gus Alif dan Nayya langsung diam, dan sama-sama membuang muka. Lalu saling melirik lagi.
“Apa lihat–lihat?”
“Njenengan yang lihat saya kok! Saya tuh lihat ke ...” ucapan Nayya terputus dengan ucapan Aira.
“Keyakinan saya makin kuat. Fix! Kalian itu jodoh.”
📍Revisi: 12 April 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum, Gus ✔ [Terbit]
Spiritual[Spiritual-Romance] Assalamualaikum, Gus A story by akufani Telah terbit di Jaksa Media ⚠ Dihapus guna kepentingan penerbitan⚠ ••• Tunggu dulu, tadi abah bilang apa? Menantunya? Dengan siapa? Kan anak abah yang laki-laki cuma aku. Jangan-jangan? Ngg...