15 - Anugerah atau Musibah?

37.1K 2.6K 72
                                    

Rahang Gus Alif mengeras. Ia marah pada dirinya sendiri karena tidak pandai menjaga diri dan makhluk lemah–lembut di depannya.

Gus Alif memandang Nayya khawatir. Kondisinya sangat jauh dari kata baik-baik saja. Bayangkan saja, wajahnya pucat pasi dengan luka di sudut bibirnya. Dahinya lebam. Matanya bengkak, kentara sekali jika ia habis menangis.

Gus Alif hendak meraih benda pipih persegi panjang di jaket yang dikenakan oleh Nayya. Sialnya posisi handphone Gus Alif berada di saku dalam jaket. Ia bingung bagamana cara mengambilnya.

Akhirnya Gus Alif memutuskan untuk mengambil handphone di jaketnya. Tidak mungkin juga Gus Alif membawa Nayya dengan motornya sendirian.

Dengan segera, ia mengambil benda pipih nan canggih itu. Namun, beru akan membuka resleting jaket, teriakan marah terdengar dari arah belakang Gus Alif.

“HEI!! NGAPAIN KAMU?” Gus Alif menoleh. Ia melihat ada beberapa warga yang datang menuju tempat Gus Alif dan Nayya.

***

“Bapak–bapak! Tolong kami,” ujar salah satu pria berbadan kekah yang tubuhnya terlingkupi jaket dengan napas tersengal.

Lima orang lelaki yang tengah meronda itu bertanya kembali pada tiga orang di hadapan mereka, dan salah satunya babak belur.

“Ada apa?”

“Ada laki–laki yang berbuat tidak sepantasnya di gang sana. Kami hendak menolong gadisnya, tapi malah saya dipukuli hingga babak belur seperti ini, Pak.”

“Benar, Bapak–Bapak. Perempuannya sampai pingsan dibuatnya.” salah satu pria berbadan kekar tadi semakin memanasi keadaan.

“Kurang ajar! Ayo kita ke sana! Gara–gara dia, kampung kita jadi tercemar,” gartak pria setengah baya yang mengenakan topi dan sarung yang dililitkan di lehernya seperti syal.

“Ayo–ayo. Setelah itu kota bawa ke tempat Pak Kyai.”

“Kalian bertiga ikut kami!”

“Aakh ... aduh. Sepertinya saya tidak bisa ikut, Pak. Perut saya dipukul keras sekali oleh laki–laki tadi.”

“Lebih baik, bapak–bapak segera ke sana. Saya dan teman saya akan mengurus Bos ...” ucapan laki–laki dengan rambut yang dicepol atas itu terpotong karena kakinya mendapat injakan keras dari bosnya.

“Ah, maksud saya mengurus teman kami ini,” ralatnya sembari menepuk–nepuk pundak smorang yang tadi dipanghil ‘bos’ olehnya.

“Ya sudah, urus teman kalian ini. Biar kami yang urus laki–laki biadab itu.”

Lima orang laki–laki tadi berjalan dengan cepat menuju lorong gang yang minim cahaya tersebut. Meninggalkan tiga orang yang tersenyum girang karena melihat para warga yang mudah ditipu oleh mereka.

“Berhasil, Bos.” suara tawa membahana dari ketiga laki–laki kekah tersebut. Mereka puas. Sangat puas.

***

“Apa yang kamu lakukan dengan wanita ini, huh?”

“Benar–benar memalukan!! Kau memperkosa anak orang hingga pingsan di jalan sepi seperti ini?”

Gus Alif membelalakkan mata. Terkejut. Mereka melayangkan tuduhan yang sama sekali tidak benar kepada Gus Alif.

“Bukan pak, bukan. Saya hanya menolong perempuan ini dari preman–preman yang hendak berbuat semena-mena. Jangan fitnah sembarangan!” Gus Alif membela dirinya.

“Halah, alasan saja! Bohong dia!” salah seorang warga mencoba menjadi kompor bagi warga yang lain.

“Sudah, bawa saja ke pesantren! Beserta perempuannya juga. Biar kyai yang memutuskan.”

Assalamualaikum, Gus ✔ [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang