Terhitung sudah tujuh hari sejak kejadian di Ruang Kesehatan— Jiya lebih sering mengasingkan dirinya di ruangan perpustakaan. Lebih menyibukkan diri lagi dari sebelumnya. Entah itu membaca buku-buku materi, mengerjakan tugas ataupun hanya menumpang tidur sejenak guna mengistirahatkan dirinya yang lelah; lelah pikiran juga tubuhnya.
Gadis itu berusaha mati-matian menghindari Jimin agar tak berpapasan dengannya. Sebisa mungkin agar dirinya tak bertatap muka dengan pemuda itu.
Pemuda gila sialan yang telah menciumnya sembarangan.
Pemuda brengsek yang telah melecehkannya di Ruang Kesehatan.
Dan menjadi pemuda nomor wahid yang paling Jiya benci setengah mampus selama ia hidup sampai sekarang.
Jiya menghela napas. Memijit pelipisnya pelan sebab sedikit terganggu dengan seseorang yang berdiri di sebelahnya. "Bisakah kau menghentikan kakimu itu? Itu sangat menganggu, Jo-ya."
"Aku tidak akan berhenti sebelum kau mau ikut denganku, Ji." Kata Hyojo. Kakinya masih saja terus mengetuk kaki meja agar gadis di depannya itu merasa terganggu.
"Aku tetap tidak akan ikut."
Jiya kembali fokus pada bukunya. Membalik lembar berikutnya dan sengaja mengabaikan atensi sahabatnya itu.
"Ck," Hyojo berdecak kesal. Memutar bola matanya jengah dengan sikap keras kepala karibnya itu. "Ini sudah seminggu kau tidak makan siang di Kantin dan hanya mengeram di perpustakaan seperti Biksu. Aku khawatir jika otakmu itu akan meledak sebentar lagi."
"Aku bawa bekal."
"Bohong!" Sangkal Hyojo. "Aku tahu tadi pagi kau bangun kesiangan. Bahkan aku yakin kau tidak sempat sarapan, bukan?"
Jiya diam. Hening untuk sesaat sebelum gadis itu menimpali, "Aku hanya tidak ingin jika nanti berpapasan dengan pemuda itu."
"Heol. Kau pikir itu akan terjadi?"
Jiya mengendik, "Siapa yang tahu."
"Dengar Ji," Hyojo menjeda sesaat. Memainkan lidahnya di dalam mulut sebelum kembali berujar, "Gedung Teknik dan gedung Manajemen itu lumayan jauh. Kau pikir kalian akan bepapasan begitu saja? Lagian yah, berandalan itu jarang sekali masuk Kampus, sekalinya masuk saja palingan hanya membuat onar atau sekedar absen muka untuk tebar pesona dengan mahasiswi lain. Jadi kau tak perlu terlalu khawatir begitu."
"Aku hanya berusaha menghindari sesuatu yang tak kuinginkan."
"Terserah!"
"Ya! Kembalikan bukuku!"
Jiya mengapai-gapai bukunya yang sedang berada di tangan Hyojo.
"Tidak akan ku kembalikan sebelum kau mau ikut denganku Ji."
"Tidak mau."
"Kalau begitu aku akan berisik saja agar kau diusir keluar oleh penjaga perpus!"
Jiya menghela. Mengangkat kedua tangannya tertanda menyerah. "Oke. Baiklah. Aku akan ikut denganmu, puas!"
Hyojo menyengir lebar. "Good girl!"
***
Setelah mereka berdua tiba di Kantin, Hyojo bertugas memesan makanan sementara Jiya mencari tempat kosong untuk mereka makan nanti.
Kantin lumayan ramai siang ini.
Hal inilah yang membuat Jiya tak terlalu suka makan di Kantin dan jarang sekali menginjakkan kakinya di sana kalau bukan karena rengekan sahabatnya itu yang beralibi tak suka makan sendirianlah. Atau tak punya banyak temanlah. Padahal jelas-jelas-hampir seluruh mahasiswa di jurusannya berkawan baik dengan gadis itu. Bahkan yang lebih parahnya lagi, anak itu pernah mengatakan bahwa dirinya takut di geniti oleh penggemarnya dan-bla, bla ,bla.
Sumpah! Cerewet sekali!
Sampai Jiya terpaksa mengiyakan ajakan gadis itu sebelum telinganya jadi tuli. Meskipun dirinya tahu, bahwa sahabat karibnya itu hanya tak ingin jika dirinya terus melewati jam makan siangnya.
Jiya mendudukan dirinya setelah ia mendapat tempat kosong. Menaruh tas dan menghela berat kala dirinya melihat suasana sekitar.
Terlalu ramai.
Berisik.
Berdesakan.
Sangat tidak cocok dengan kepribadiannya yang lebih suka dengan suasana tenang pun nyaman.
Hal ini membuat Jiya memijat pelan pelipisnya. Melirik sebentar pada sang sahabat yang sedang mengantri di depan sana. Lantas mengambil buku yang tadi ia baca beserta earphone untuk menyumpal telinganya.
Dan detik dimana dirinya hendak memasang earphone di telinga, Jiya mendadak tercekat kala ia mendengar suara familiar di belakang sana.
"Sorry, telat."
Tidak. Tidak mungkin.
"Wahh, parah! Kau terlambat dua puluh menit. Apa kau baru saja selesai memuaskan dulu, Jim?"
"Sialan kau ini!"
Mendadak kepala Jiya rasanya hampir pecah. Oksigen di sekitarpun terasa menipis hingga membuat napasnya merasa sesak. Keringat dingin mulai bermunculan.
Kenapa?
Kenapa hal yang ia takuti malah terjadi seperti ini? Kenapa takdir begitu sialan harus mempertemukan mereka berdua lagi? Kenapa ia tetap mengiyakan ajakan Hyojo padahal dirinya sudah menolak?
Ah, sialan!
Dunia memang benar-benar sempit sekali, ya. Haruskah Jiya menyalahkan gadis cerewet itu yang sudah membuat dirinya terjebak di suasana seperti ini?
Sepertinya Jiya harus membuat list hukuman apa saja yang cocok ia berikan untuk sahabatnya itu dari sekarang.
Sebenarnya, Jiya ingin sekali pergi sesegera mungkin dari sana. Menghilang saja kalau bisa. Namun mengingat sahabatnya itu masih mengantri berdesakan di depan sana membuat Jiya gunda gulana.
Ingin menghampiri namun ia malas berdesakan kala melihat gadis itu sudah berada di barisan depan. Ingin kabur saja tapi merasa kasihan jika nanti sahabatnya kelimpungan mencari dirinya. Katakan, kalau sudah seperti ini Jiya harus bagaimana? Sungguh, dia begitu dilema sekali.
Jadi, menghela napas panjang dengan tangan kiri menopang dahi guna menyembunyikan wajah agar tak terlihat, sedang tangan satunya memegang buku bacaan— Jiya mengatur volume penuh di ponselnya. Hingga membuat telinganya terpenuhi dengan lagu kesukaannya. Membiarkan suara di belakang punggungnya tak lagi terdengar menyapa rungu.
Yah, begini lebih baik, bukan?
[]Wah, sepertinya aku kerajinan banget ya ini😁
Kemarin update APYEON. Hari ini update yg ini. Terus besok kira-kira update yg mana lagi?🤣🤣
Shin,
18nov19
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bastard Boy | ParkJM
Random[ON GOING] Rate: M++ Menurut Shin Jiya, lelaki yang bernama Park Jimin itu merupakan seorang berandalan kampus yang patut ia hindari. Lelaki yang berada didaftar merah garis keras untuk menjadi salah satu daftar kekasih idamannya. Karena perangai l...