Mau ngumpulin ciwi-ciwi yang cinta sama Jimin dong, sini coba absen dulu??
Udah lama kan ya, Jimin gak nongol disini. Ada yang rindu?? 😁
* * *
Setelah mengganti sepatunya dengan sandal rumahan. Meletakkannya dengan rapi di rak sepatu lalu berjalan gontai kearah kamar— Jiya menemukan kamarnya yang terlihat gelap sebelum dirinya menekan saklar lampu. Tasnya ia lempar ke atas ranjang bersamaan dengan tubuhnya yang terlentang di sana. Menatap langit-langit kamarnya dalam diam.
Biasanya setelah pulang ke flat, Jiya akan tertidur sejenak sebelum ia membersihkan diri dengan pancuran air hangat dan lalu berangkat ke tempat kerja sampingannya. Namun agaknya untuk kali ini— hal itu tak bisa terealisasikan meski dirinya merasa hari ini begitu melelahkan. Sangat. Begitu letih dan kepalanya terasa pening.
Jiya kembali mengingat kesalahan dan kesialan apa yang menimpanya akhir-akhir ini hingga membuatnya dalam masa sulit. Sampai perutnya saja terasa mual tatkala ia mengingat kejadian pasca di lorong koridor.
Ah, benar! Hari itu— jika saja ia tak memaksakan diri untuk menerobos kerumunan. Tak perlu mengambil buku materi yang berada didalam lokernya dan lebih memilih langsung membawa tungkainya menuju kantin yang sudah ditunggu sahabatnya disana— mungkin kesialan ini tak akan pernah terjadi. Juga tak perlu berurusan dengan pemuda bermarga Park brengsek itu.
Bisakah ia memutar waktu untuk kembali ke masa itu? Atau haruskan ia meminta pada Doraemon— kartun favoritnya itu untuk membawanya melewati lorong waktu agar bisa memperbaiki takdir hidupnya?
Konyol! Mana bisa begitu! Gelinya, menggelengkan kepala.
Menghela napas berat untuk yang kesekian kali dan membiarkan isi hati juga pikirannya kembali berdebat satu sama lain didalam sana— Jiya kembali bersua didalam hati. Haruskah? Haruskah ia pergi? Kemudian ia mengerang dan menjambak surainya begitu frustasi.
"Kenapa jadi seperti ini, sialan!" Teriaknya.
* * *
"Kau yakin tidak ingin ikut, Jim? Disini banyak sekali wanita seksi. Kau mungkin akan menyesal."
Suara diseberang sana terdengar begitu riuh. Dentuman musik lebih terasa mendominasi hingga Jimin yakin diseberang sana— Taehyung sudah mengeluarkan seluruh tenaganya agar suaranya bisa dirinya dengar.
"Tidak, Kim. Aku juga sedang menunggu kelinci buruanku." Jimin tersenyum asimetris. Meneguk kembali wine yang berada di tangan kiri sembari menatap suasana kota malam hari dari lantai lima belas apartmentnya.
"Baiklah. Jangan menyesal nantinya."
"Tidak akan, " Balasnya sembari tersenyum miring. "Kalian bersenang-senanglah."
Setelah Taehyung bergumam dan panggilan itupun terputus— Jimin melemparkan ponselnya ke atas sofa terdekat dan kembali menikmati tegukan winenya.
Ah, ya. Ngomong-ngomong— apakah gadis itu benar-benar akan datang? Mengingat jam yang berada di dinding sana sudah menunjukkan pukul sembilan malam dan kemungkinan kecil gadis itu menemuinya membuat Jimin memejam sejenak guna meredam emosi. Wah, benar-benar ya.
Apakah gadis itu sungguhan ingin beasiswanya dicabut karena tak diperbolehkan mengikuti ujian praktek sebab tak miliki kartu pelajarnya? Jimin tersenyum smirk. Nekat juga, pikirnya.
Oke, lihat saja sampai sejauh mana gadis itu mempertaruhkan beasiswanya.
Pun kedua alisnya terangkat naik, badan sedikit ia gerakan ke arah samping kala telingannya mendengar dentingan bel apartnya berbunyi. Jimin lalu meletakkan gelas yang tadi berisi wine itu ke atas meja. Menyugar surainya ke belakang dengan seringaian begitu puas kala tungkainya ia pacu menuju pintu.
"Kembalikan kartu pelajarku."
Begitulah kira-kira yang pertama kali menyapa Jimin kala dirinya membuka pintu. Ekspresi si gadis terlihat datar dan agak terlihat kelelahan. Mengenakan kemeja berwarna putih dengan dipadukan ripped jeans dan sepatu sneaker berwarna senada.
Jimin menyeringai sekilas. Menarik juga. Tanpa basa-basi langsung menodongnya begitu saja, sangat berbeda dengan gadis lain. "Wow. Patut ku acungi jempol untuk keputusanmu ini, Nona kekasih."
"Tidak perlu. Cukup kembalikan kartu pelajarku. Dan— " Jiya menjeda sejenak ucapannya. Netranya menatap sinis. "Jangan memanggilku dengan sebutan itu."
"Oke, kalau begitu aku akan memanggilmu Sayang saja." Balasnya. "Masuklah dulu. Kau terlihat kedinginan, baby."
Jiya mengerut tak senang, "Berikan saja kartu pelajarku."
"Iya sayang, akan aku berikan setelah kau masuk."
"Bisakah kau tidak membuat ini sulit! Hanya cukup berikan saja kartu milikku apa susahnya, sih!" Suara Jiya sedikit meninggi. Napasnya memburu. Pun tatapannya menajam. Sudah cukup dirinya sedari tadi menahan muak. Sungguh, Jiya begitu sangat lelah. Dia ingin ini cepat selesai. Ingin segera pulang ke flatnya lalu mengistirahatkan tubuhnya yang benar-benar remuk. Tetapi sialanya lelaki brengsek di depannya ini membuat semuanya jadi sulit.
"Kau sendiri yang membuatnya sulit, Sayang. Masuklah— kita bicarakan di dalam."
Jiya mendesis, "Park Jimin-ssi,"
"Aku tidak akan memberikannya jika kau tak menurut padaku."
Setelah mengatakan itu, Jimin berbalik dengan senyuman miring. Meninggalkan Jiya dengan rahang mengetat, manik yang nyalang, dan juga tangan yang mengepal erat. Menahan kewarasannya agar tetap normal pun menahan keinginannya untuk tidak membunuh Jimin saat itu juga.
[]Oya, Pibesdeyy dong buat Babang SWAG ku Min Yoon Gi. Yang mukanya datar kek papan tapi sekalinya senyum manisnya ngalahin gula 🥳😘😘
Tolong dong, aduhh. Gemay banget ama babang swag yg satu ini. Dari tadi ngerengek minta hadiah coba?? Padahal kan semalen udah ku kasih jatah, wkwkwk😂😂
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bastard Boy | ParkJM
Random[ON GOING] Rate: M++ Menurut Shin Jiya, lelaki yang bernama Park Jimin itu merupakan seorang berandalan kampus yang patut ia hindari. Lelaki yang berada didaftar merah garis keras untuk menjadi salah satu daftar kekasih idamannya. Karena perangai l...