Malam menjelang, lampu-lampu mulai dipadamkan, orang-orang sibuk beristirahat, dan kehidupan nokturnal dimulai. Seorang pemuda berambut cokelat tua masih setia berdiam diri di atas perbatasan jembatan, merenungi satu hal.
Satu hal yang membuatnya uring-uringan beberapa minggu terakhir. Lelaki mancung itu kemudian tertawa, sebab hanya suara tawa yang bisa mewakilinya, entah dalam keadaan bahagia, maupun keadaan paling menyesakkan.
Dia menertawakan diri sendiri, karena air mata rasanya terlalu sulit untuk keluar, sekadar memberitahu yang lain bahwa dirinya butuh genggaman tangan, namun kejadian tersebut bahkan tidak pernah ia bayangkan. Menjadi satu-satunya anak lelaki, bukan membuatnya jadi paling dimanja, justru kebalikannya, selalu disuruh, dituntut, dan harus paling kuat untuk melindungi saudarinya.
Apalagi, setelah keegoisan mereka merenggut nyawa kakaknya, Lea— yang sedari kecil tumbuh dengan banyak kesulitan sampai ia bisa bertahan selama duapuluh tahun sebelum akhirnya menyerah, tiap hari mendapat perundungan di sekolah, dan di rumah, selalu diberikan beban dengan selalu mendengar pertengkaran dan suara tangis adik-adiknya tak ayal membuatnya lelah, sangat lelah. Dan satu lagi, karena Lea tahu satu hal yang membuatnya frustasi, sebab ia tak bisa mengungkapkannya bahkan sampai perempuan itu mati sekalipun.
Termasuk kali ini, Hueningkai tidak boleh terlihat rapuh, sementara adiknya pasti sekarang masih menangis di kamar, usai lagi-lagi mendengar percecokan antara ibu dan ayahnya, serta suara pecahan kaca, tamparan, dan nada-nada tinggi keluar entah dari mulut ayah atau ibu. Sementara dirinya, tidak tahu harus pulang dan memeluk saudarinya, atau tetap tinggal sampai matahari menunjukkan eksistensinya lagi.
Terpaan angin mengacaukan tatanan rambutnya, pemuda tujuhbelas tahun itu menendang-nendang pembatas jembatan, kesal lantaran tidak punya prinsip kuat. Dia tidak tahu ke mana arah akan membawanya, tidak tahu yang mana pilihan tepat, bahkan tentang masa depannya, iapun masih tidak tahu.
"Aku selalu mendengarmu, tapi Ibu bahkan tidak pernah mau mendengarku. Curang."
Malam semakin larut, semakin banyak pula dering yang terdengar dari ponselnya, ia tertunduk. Akhirnya, remaja itu memilih untuk pulang, meski dia sendiri tak tahu Ibunya benar-benar peduli padanya, atau sekadar membutuhkan kebisuannya untuk melampiaskan emosi, lagi.
Beruntung, sampai di rumah keadaan sudah hening, lampu utamapun telah dimatikan, Hueningkai jadi tidak usah repot mendengar keributan serta kata-kata yang tak pantas diucapkan, malam ini telinganya aman dari umpatan-umpatan orang tuanya itu, ia mengembuskan napas lega.
Baru sampai di ruang keluarga, adiknya, Bella tiba-tiba berjalan terseok dari kamar, darah merembes keluar dari perutnya, Hueningkai lantas mendekat, panik. "A-apa yang terjadi?"
Dengan sesenggukan, adik manisnya yang kini penuh lebam entah di wajah, tangan maupun kaki berkata lirih, "selamatkan aku, Kak."
Sebelum akhirnya gadis cilik itu terjatuh tak sadarkan diri, menghantam lantai yang entah dari kapan terasa lengket dan amis. Hueningkai langsung menelpon ambulans, lalu membawa adiknya ke sofa, segera lelaki itu melakukan pertolongan pertama yang ia ketahui dari eskul PMR di sekolah dengan getar, perlahan Hueningkai memeriksa luka yang terjadi. "Sebuah tusukan? Ya Tuhan, apa lagi ini?"
Dan sejak saat itu, Hueningkai benar-benar tak lagi mendengar umpatan, isak tangis, jeritan maupun tamparan di rumahnya.
*
"Hei, Anak Aneh. Katakan padaku di mana Choi Beomgyu!"
Cegatan Hyunjin membuat Taehyun berhenti mendadak, pemuda itu menatapnya tajam, Taehyun berdecak. Oh yang benar saja, dirinya bahkan baru sampai di kelas. "Tak tahu. "
"Jangan bohong, kau dengannya tadi malam 'kan? Cepat katakan!"
"Bukan urusanmu."
"Oh, begitu ya?"
Hyunjin tersenyum tipis, Felix dan Changbin yang berada tak jauh darinya ikut tersenyum. Taehyun tahu, sebentar lagi pasti pipinya akan menjadi ungu, dan rasanya seperti nanas.
Tak sampai sepuluh detik, sebuah bogeman mentah mendarat di garis rahangnya, "masih bukan urusanku, huh?"
Pemuda Hwang itupun kembali mengintimidasinya dengan cengkraman kasar di kerah seragam, "katakan padaku, di mana Beomgyu! Atau ibumu akan kehilangan pekerjaannya, cepat!"
Kang mendecih, Hwang Hyunjin tidak pernah berubah, selalu mengancam, egois, dan semaunya. Mengingat jaman di mana mereka sempat jadi teman sejiwa membuatnya terkekeh.
Ke mana perginya Hwang Hyunjin yang selalu membawa cokelat di tangan dan tidak mau sekolah jika bukan dengannya?
"Kau tak pernah berubah ya, bagaimana dengan Ibumu? Kau mau aku mengadukan semua tingkahmu lalu membuatnya pingsan di tempat?"
BUGH!
Hyunjin tak dapat menahan amarahnya lagi, remaja itu terus memukul Taehyun dengan brutal, entah di pipi, rahang, mata, hidung, dia kehilangan akal sehatnya.
Changbin panik menyadari Hyunjin yang sudah kelewatan, kini semua mata menonton perkelahian tersebut layaknya menyaksikan sebuah pertunjukan.
Sampai Pak Lee datang, keadaan sudah tidak kondusif, kedua remaja itupun diseret ke ruangannya dengan keadaan Taehyun yang seperti habis dikeroyoki masa. "Apa gak bosan kamu ke ruangan saya terus, Hwang Hyunjin?"
Yang ditanya hanya diam menunduk, pemuda satunya lagi sedang mencoba untuk tidak mengeluarkan isi perutnya, lama-kelamaan, telinganya berdengung, pandangannya pun mulai kabur, dan rasa nanas tadi mulai berubah menjadi amis, seperti sedang mengunyah daging mentah.
"Saya sudah bosan memberi surat ini, intinya besok orang tua kalian harus datang. Tidak ada bantahan. Minji, cepat bawa Taehyun ke UKS."
Minji langsung menghampiri Taehyun, namun uluran tangannya cepat-cepat ditepis, ia menggelengkan kepalanya. Sudah sekarat begitu masih saja congkak, dasar anak jaman sekarang.
Di perjalanan menuju UKS, tiap-tiap manusia yang melihat mereka pasti akan mengrenyitkan dahinya, tentu saja gara-gara luka yang Taehyun dapatkan terlihat begitu parah.
"Sampai di sini saja, aku bisa jalan sendiri," tuturnya, melepas sepenuhnya rangkulan dari sang Penjaga UKS, ia menutup mulutnya rapat ketika gejolak panas dari perut sampai ke tenggorokan memuat reaksi mual.
"Pasti belum sarapan ya?"
Sekarang sudah jam istirahat pertama, namun Taehyun malah mendapat kesialan seperti ini, sepertinya keberuntungan memang selalu menjauhi dirinya. "Kalau gitu kamu ke UKS duluan, akan kubelikan makanan. Oke?"
Minji menatap pemuda yang jauh lebih muda darinya dengan prihatin, dia tahu tentang rumor Taehyun yang katanya punya skizofrenia serta selalu mengatakan hal-hal tak masuk akal. Dan tentu saja ia mengetahui bagaimana Taehyun dikucilkan gara-gara hal tersebut.
"Jangan mengasihaniku."
Taehyun membalas tatapannya dengan dingin, manik kelamnya seolah terus membangun tembok yang lebih tebal dan tinggi, agar semua orang tidak tahu apa yang tersimpan di balik sepasang obisidan semunya itu.
"Tidak, aku tak bermaksud—"
Belum sempat ia menyelesaikan baitnya, sang objek melenggang pergi dengan jalan yang tertatih. Rasa simpatinya kian membuncah, sebab dia tahu betul rasanya tidak ingin dipandang remeh, rasanya berbeda dari yang lain, dan iapun paham bagaimana rasanya tidak punya teman hanya karena dirinya sedikit berbeda dari yang lain.
Minji sontak mengejar Taehyun saat sebuah bayangan hitam yang kelama-lamaan membentuk seorang perempuan mengikuti langkah Pemuda Kang itu. "Sial, itu jin suruhan, apa maunya?"
Kim Minji, kehidupan perempuan kelahiran 95 itu takkan jauh dari yang namanya dunia gaib. Namun, siapa sangka, kali ini hidupnya tidak akan hanya terisi tentang makhluk-makhluk tak masuk akal setelah ia memutuskan untuk menjadi teman dari Kang Taehyun?
-cont
KAMU SEDANG MEMBACA
Invisible
FanfictionSatu persatu, mimpi mereka terenggut. Soobin tidak bisa menjadi seorang seniman karena tuntutan ayahnya, mimpi Yeonjun yang sudah berada di depan matapun harus kandas karena ia lebih menyayangi Eunha. Lalu, Beomgyu ternyata memiliki Rahasia besar d...