This Drama: Game

26 5 0
                                    

Warning! Some part are contains lil bit explicitly, be a wise reader please.

[Perhatian! Beberapa part mengandung konten yang tidak patut dicontoh, mohon kebijakannya dalam membaca]
- - -

"Hei, berhenti! Kau Kang Taehyun, bukan?"

Napas Beomgyu terengah, ia lalu  mengusap bulir-bulir keringat yang bercucuran menimpa wajahnya, tampan.

Yang merasa dipanggil menoleh, mendapati laki-laki yang beberapa hari terakhir ini kerap menghantui kepalanya tentu menjejakkan sebuah tanda tanya besar di benak Taehyun.

"Ya?" balasnya terkesan cuek.

Beomgyu mendecih dalam hati, pantas saja pemuda bermata besar dan berhidung lancip layaknya boneka ini dikucilkan, oh sungguh, tatapan mata Taehyun yang seolah tak dapat ditembus itu membuatnya risih.

Terlalu lama menatap, Beomgyu hampir saja lupa dengan tujuan awalnya, jika Taehyun tidak segera menyadarkannya melalui deheman keras.

"Eh— perkenalkan, namaku Choi Beomgyu. Kupikir sudah lama kita berada di kelas yang sama, tapi aku sama sekali tidak menyadarimu."

Taehyun menarik sebelah alisnya, gerak-gerik Beomgyu cukup aneh di matanya, pupil yang kian mengecil, jemari yang mengepal, dan lagi, warna suara yang berbeda.

Persis seperti gelagat Ibunya ketika sedang mencari alibi agar ia tidak mengekorinya ke pasar.

"Uhm, kalau kau tidak keberatan, ayo berteman!"

Pemuda tujuh belas tahun itu sontak tertawa. Apa? Berteman katanya?

Ouch, haruskah ia menangis haru, atau tetap tertawa mengejek karena ini adalah pertama kalinya seseorang mengajaknya berteman sejak semua orang tahu mengenai syndrome yang ia derita?

Tentunya Taehyun tetap tertawa memamerkan gigi-gigi serapih tupainya itu, Choi Beomgyu sedang berusaha menipu.

Rasa kaus kaki busuk, dan warna nila yang keluar cukup memberi tahu Taehyun bagaimana bisa Beomgyu ingin menipu dengan kata-kata yang begitu ia idam-idamkan sejak lama.

Sedang yang ditertawakan mengerutkan kening, bingung. "Apanya yang lucu? Aku serius, jadilah temanku!"

Bahkan hanya dengan gelakan kecil, ego Beomgyu tersulut begitu cepatnya.

Taehyun seketika merapatkan mulutnya kembali, melangkahkan tungkainya dingin tanpa mengucap sepatah kata lagi, meninggalkan rasa kesal yang membuncah di relung dada Beomgyu.

"Kurang ajar, lelaki itu benar-benar—"

Tiba-tiba, sebuah lengan tersampir di bahunya, "hei, hei, sepertinya tak lama lagi akan ada ledakan emosi, ya?"

Disusul kekehan ringan, kedatangan Yeonjun beserta semua dad jokesnya berhasil meredam lava amarah Beomgyu yang sudah di ujung tanduk dan siap untuk menyembur siapapun dengan amukannya. "Kau ini kenapa sih, pagi-pagi sudah seperti cacing kepanasan saja?"

Beomgyu mendecak, "Kang Taehyun, cowok itu sangat sombong, aneh, dan menyebalkan! Kau tahu? Tadi aku mengajaknya berteman, tapi dia malah tertawa dan pergi begitu saja, ugh, pantas saja tidak ada yang betah menjadi temannya."

Beomgyu pikir lelaki yang lebih tua darinya itu akan ikut mencibir atau berada di pihaknya, namun, tak disangka jawaban Yeonjun ternyata lain dari biasanya.

"Heh, kau itu yang lebih aneh. Gak ada hujan, gak ada matahari, tiba-tiba merusuh minta  berteman. Lagipula, memangnya kau tahu apa yang sedang ia tertawakan?"

Beomgyu menyikut perut bagian kiri Yeonjun dengan sengaja, lantaran merasa semakin kesal dengan kalimat Yeonjun berusan, "kau ini datang untuk meredakan emosiku atau malah sebaliknya sih?!"

Yeonjun balas menjewer daun telinga pemuda yang sudah menjadi sobatnya untuk beberapa tahun ini, yang benar saja, luka jahitannya baru kering, remaja itu kurang bahan candaan atau bagaimana, sih?

"Perhatikan tindakanmu! Kau ini, kebiasaan. Pantas saja si Taehyun itu kabur, sikapmu ternyata berkali lipat lebih menyebalkan."

Beomgyu mendelikkan mata, menatap Yeonjun kesal. "Iya, iya, Pak Tua Yeonjun!"

Dan, pagi hari yang cerah itu harus Beomgyu lewati bersama pergelutan sengit antara dirinya dengan Yeonjun.

*

Sepulang sekolah, Soobin mendapat tugas dari Guru Kimia untuk membersihkan labolatorium karena besok kelas sebelah akan ada ujian praktek, jadilah kini hanya tinggal dirinya yang tersisa.

Sepi, dan senyap. Soobin kembali teringat akan mimpi buruknya terdahulu, seperti ada sesuatu yang mengawasinya, mata berbentuk makaron itu lantas menajam. Soobin kembali merasa was-was dengan perasaan asing yang tiba-tiba menyergapnya.

Di ujung koridor, nampak kedua orang yang begitu ia kenal sedang mengobrol, eh, bukannya itu teman sekelasnya Lia? Ada hubungan apa gadis itu dengan Pak Sehun?

Dan, apa-apaan, mereka berciuman!

Soobin reflek menutup mulut yang hampir saja menjerit saking kagetnya. Bagaimana bisa kedua orang itu berciuman di sekolah?

Meski jam belajar telah usai, bukan berarti sekolah menjadi tempat yang tepat untuk menuntaskan hasrat seperti itu, kan? Duh, Soobin rasanya sudah kehilangan akal untuk beberapa menit.

Tadinya Soobin tidak berniat untuk menguping, tapi, apa boleh buat. Tangga yang merupakan jalan satu-satunya sudah terblokir dengan kemesraan dua insan yang kian panas itu, Soobin menunggu mereka pergi di dalam ruang Klub Bahasa Inggris.

Soobin tidak melihat, tapi ia mendengar semuanya. Dari mulai suara kecipak yang ia yakin berasal dari sebuah adegan yang sepatutnya tidak ia lihat tadi, sampai gebrakan pintu yang disusul oleh desahan dan lenguhan nyaring.

Soobin tercengang, otaknya tidak bisa berpikir dengan jernih. Apa yang ia dengar tadi mulai sekarang akan menghantuinya tanpa ampun. Mungkin benar kata Yeonjun, mulai besok ia harus membawa earphone atau jika perlu penyumbat telinga ke mana-mana.

Mimpi apa dirinya semalam hingga hari ini harus menyaksikan adegan tak pantas ditiru yang pernah ia baca sepintas di novel dewasa? Sama sekali tak habis pikir.

"Oh tidak, dunia semakin gila."

Kejadian sore kemarin sungguh membuat kepala Soobin pening seharian, sebab keesokan harinya adalah pelajaran olahraga dengan Pak Sehun. Bisa dibayangkan bagaimana Soobin yang mati-matian berusaha untuk tidak membuka mulutnya soal apa yang ia ketahui antara Lia dengan Pak Sehun.

"Heh, Soobin. Kau daritadi diam saja, kenapa?"

Sayangnya, Yeonjun adalah pribadi yang memiliki kepekaan tinggi, Soobin mulai benci jika lelaki ini peka di saat yang tidak tepat. Sebagai balasan, ia hanya tersenyum, "tidak ada apa-apa. Ayo main bola lagi!"

Mulai hari ini dan seterusnya, Soobin merasa terbebani sendiri dengan kejadian-kejadian yang tanpa sengaja ia dengar.

Apa yang harus ia lakukan?

-cont

InvisibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang