Drama; Dream

46 9 1
                                    

Menjelang pagi, namun Soobin masih terjaga, terduduk dengan kepala panas di depan layar komputer. Pemandangan seperti ini memag tidak asing baginya, sebab Keluarga Choi sangat disiplin, mereka memikirkan masa depan dengan penuh pertimbangan, tak salah jika selama ini anak-anaknya selalu dididik menjadi seorang penuh ambisi untuk kesuksesan di masa depan.

Soobin sendiri, akhir-akhir ini sedikit muak karena label si Jenius Soobin, Anak Emas, dan yang lainnya terus ia dengar entah dari guru, maupun orang-orang yang bahkan tak ia kenal gara-gara keceplosan menjawab benar soal fisika tersulit dalam setengah menit menjadi topik hangat bulan lalu.

Awalnya sih dia baik-malah merasa senang dengan sanjungan itu, namun, semakin banyak orang yang mulai meliriknya membuat Soobin risih juga, termasuk notifikasi berlebih dari akun sosial media. Soobin tidak bisa kembali berpura-pura idiot dan mematahkan label itu, yah, dia benar-benar tak bisa.

Inilah yang Ayahnya nantikan, kalau Soobin bersikap bodoh lagi, lagipula mau dikemanakan mukanya yang tampan ini?

Ah sudahlah, besok pasti mereka akan lupa.

Ketukan pintu terdengar, kemudian disusul deritan pintu membuatnya menengok, di sana, Ayahnya menatap Soobin aneh, jelas ia tak bisa menebak apa yang ada dipikiran ayahnya sebab Soobin tak melihat bagaimana iris Ayahnya itu dalam temaramnya kamar. "Kudengar kau bergaul dengan Choi Beomgyu, dan Jung Yeonjun. Apa itu benar?"

Kemana saja kau Pak Tua?!

"Memangnya kenapa?" tanya Soobin heran, lagian, bukannya kedua sobatnya itu sering main di rumahnya, yang benar saja Ayahnya tak menyadari hal tersebut? Ckck, mungkin ini efek terlalu lama bergulat dengan semua berkas dan komputernya, dasar workaholic!

"Jangan terlalu dekat dan banyak bermain, sebentar lagi kau akan lulus 'kan? Ayah tak ingin mereka mempengaruhi prestasimu, Soobin."

Ayahnya lalu mendekat, menepuk singkat pucuk kepala Soobin, "kau satu-satunya penerus Ayah, Soobin. Hargai waktu seperti kau menghargai ilmu, oke?"

Topik pembicaraan ini, sedikit asing baginya, ah tidak, ini benar-benar asing. Sebab yang Soobin tahu, dia masuk ke sekolah terbagus seantero Korea agar bisa meraih mimpinya dengan mudah, bukan untuk menjadi penerus ayahnya. Sungguh, dia merasa sangat bodoh kali ini.

Jadi, semua fasilitas, semua tuntutan dan semua kewajiban yang diajarkan keluarganya sejak dini hanya untuk memantapkan dirinya jadi pewaris perusahaan keluarga, mentang mentang ia satu-satunya lelaki dalam keluarga ini? Soobin terkekeh.

Kenapa ia baru sadar setelah semua hal terjadi, setelah ia bertekad untuk menjadi seniman?

Kenapa tidak dari dulu, Soobin bisa saja memutuskan untuk tidak menjadi seambisius ini, tidak serajin ini, dan tidak sepintar dirinya yang sekarang?

Kenapa?

"Kalau aku tidak mau meneruskan perusahaan Ayah, bagaimana?"

Tuan Choi terbahak singkat, seperkian sekon kemudian tawanya menjadi sebuah ekspresi yang membuat Soobin gugup. "Lelucon bodoh macam apa itu, Soobin? Tentu saja tidak bisa, aku menghidupimu agar kau menjadi pantas bagi perusahaanku, bukan menjadi pembangkang."

"Tapi-"

"Tidak ada pengecualian, mulai besok, kau ikut klub persiapan kerja, sudah Ayah daftarkan, dan jangan keluyuran lagi, camkan itu!"

Bantingan pintu cukup membuat dadanya berdetak lebih cepat, dan lagi, apa-apaan klub persiapan kerja? Terdengar membosankan sekali!

Oh, bahkan sekarang Soobin dapat membayangkan duduk di antara orang-orang kaku, tiap hari bergulat dengan belasan buku tebal, dan ia yakin, tidak ada kesempatan melihat gadis cantik untuk sekadar menjernihkan mata serta pikiran, tidak, aih, itu benar-benar mimpi buruk!

Melihat jam beker yang daritadi seakan meneriakinya bahwa kini adalah saatnya ia beristirahat, lantas lelaki itu beranjak menuju kamar mandi, berendam air hangat agaknya dapat menetralkan kembali jiwa damainya yang sempat terguncang.

Yah, setidaknya Soobin tahu, mulai esok, takkan ada lagi menongkrong, mencorat-coret dinding, maupun berteriak macam orang kesetanan di rooftop. Sebab esok, dunia normalnya akan berubah sebanyak 90 derajat.

"Yeonjun, kau pasti takkan percaya bahwa aku dilahirkan bukan dari cinta. Miris sekali hidupku, sial."

*


"Halo, dengan Jung Yeonjun?"

Yeonjun terdiam, sebuah nomor asing tiba-tiba menelponnya saat kini ia berada di depan gedung besar bercat hitam, "Iya, Yeonjun di sini. Anda siapa, ya?"

"Aku Jang Hyejung, staff audisi Cube ent. Apa kau sudah membaca e-mailnya?"

Yeonjun mengulum bibirnya, dia sudah membaca pesan itu-bahkan ia membacanya berulang kali, yang mana di sana tertera bahwa ia dinyatakan lulus audisi pertama dan diminta datang ke perusahaan untuk audisi lagi. Namun, Yeonjun sendiri masih bingung, semua hal seakan menekannya dari berbagai arah.

Lalu, keadaan Eunha yang semakin buruk tiap harinya membuat kakinya kini berpijak tepat di depan pintu masuk salah satu agensi terbesar di Korea, YG Entertainment. Tujuannya ialah menarik kembali formulir pendaftaran audisi yang sudah terlanjur diterima oleh pihak agensi.

"Um, itu. Maaf tapi aku tidak bisa melanjutkan audisinya, maaf," ujarnya lirih.

Yang di seberang mengrenyitkan dahinya bingung, padahal saat anak itu audisi, ekspresinya sangat bersemangat dan bakat yang ia tunjukkan sangat keren, agak ragu baginya mendengar kata-kata tak berdaya yang keluar dari mulut pemuda ini murni keinginannya.

"Kau yakin? Padahal kemarin audisimu sangat menakjubkan, aku yakin kau pasti berhasil jadi trainee di sini."

"Y-ya, aku mengundurkan diri. Maaf sekali lagi," terdengan helaan napas usai panggilan terputus, Yeonjun memantapkan diri, mendorong pintu transparan itu dengan pelan.

Seorang staff tiba-tiba menghampirinya, ah, itu Kakak yang menawarkannya brosur. "Eh, kamu yang kemarin ya? Jadi ikutan audisi?"

Yeonjun membungkukan tubuhnya sedikit tanda hormat, ia tersenyum tipis. "Iya Kak. Tapi, aku mau narik formulir pendaftaran, bisa?"

"Loh, kok batal sih? Padahal kamu kayaknya bisa deh jadi trainee di sini," Yeonjun hanya tersenyum, kemudian perempuan dengan lesung pipi tersebut kemudian mengantarkannya pada sebuah koridor, di sana tampak banyak orang yang sedang menunggu.

"Yubin, kemari!"

Yang merasa dipanggil berjalan ke arah mereka, "ada apa?"

"Halo Kak, aku Jung Yeonjun. Aku mau tarik formulir pendaftaran audisi," terangnya kemudian.

Yubin mengangguk, matanya bergerak sana-sini, mencari sesuatu pada kertas yang terjepit papan.

"Jung Yeonjun ya? Nomor ponselmu berapa, biar aku cek."

Setelah Yubin menemukan data-datanya, ia segera mencabutnya dari jepitan klip. "Nanti akan dikonfirmasi lagi, lihat di e-mail ya," pesannya, kembali sibuk dengan setumpuk kertas-kertas di tangannya.

"Terimakasih banyak, Kakak!"

Sepulangnya dari YG ent. Yeonjun kembali termenung, dari atas sini, melihat langit hitam kelam bermandikan kerlap-kerlipnya lampu sukses mengingatkan dirinya tentang mimpi-mimpi indahnya dulu.

"Melihat ribuan bintang yang nyata adalah mimpiku, Kak."

"Oh, wow. Haruskah aku meminta pada langit untuk meminjamkan sebentar bintang-bintangnya padamu?"

"Tck, bukan ituu!"

"Lantas apa, Yeonjunnie?"

"Aku ingin menjadi penyanyi. Melihat pancaran kilau dari beribu-ribu mata sama saja seperti melihat bintang yang nyata, 'kan?"

Tanpa sadar Yeonjun terkekeh, jadi, sampai sini saja ya, mimpinya itu?

Tiba-tiba, tetesan air mulai menghujamnya, Yeonjun segera turun dari kap mobil dan melajukan kendaraan roda empat tersebut turun dari Bukit Bugaksan, tempat yang menjadi pelariannya ketika Yeonjun tak lagi punya rumah untuk mengadu.

-cont

InvisibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang