Decit suara sepatu yang beradu dengan lantai menggema dalam ruangan tersebut. Di sisi lapangan Zibran dengan jeli memerhatikan segala gerakan mereka, sembari sesekali menegur dan mengarahkan para pemuda tersebut agar bermain lebih baik lagi.
"Oke, cukup!" seru Zibran setelah meniup peluit tanda berakhir latihan untuk hari ini.
"Ah, lelahnya," keluh Eril yang baru saja mendudukkan tubunnya. Sekujur tubuhnya telah bermandikan peluh, meski latihan seperti biasa, tapi hari ini rasanya benar-benar melelahkan.
Semua karena Zibran yang sangat tegas dan kejam hari ini. Pria tersebut benar-benar beda dari sebelumnya, caranya memberi instruksi, serta wajahnya yang terlihat garang membuat Eril benar-benar tidak nyaman.
"Latihan hari ini selesai, kalian sudah boleh pulang." Zibran berucap ramah pada para pemuda di hadapannya sebelum dengan tergesa meninggalkan ruangan tersebut dengan penuh semangat.
"Makin aneh tuh pelatih." Eril mencebik saat Zibran telah keluar dari ruang tersebut. Sikap Zibran benar-benar membuatnya tak nyaman, kadang tak menentu dengan menyebalkannya.
"Sudah sih gak usah dipikirin, siap-siap aja buat ke tempat Kaffa, kayaknya sudah mulai," ucap Firza tak acuh akan sikap pelatihnya yang sejak awal terlihat aneh baginya.
Firza tak peduli alasannya, ia juga tak ingin mempermasalahkan keanehan pelatihanya yang mudah berubah, entah itu kadang bersikap sok ramah, kikuk bahkan heboh sendiri. Selama pria tersebut dapat melatih timnya dengan baik, maka takkan ada masalah.
***
Dengan terburu Zibran memasuki ruangan tersebut. Berharap tidak melewatkan momen di mana putranya kembali mendapat gelar juara, berdiri dengan bangga bersama piala kemenangannya.
Zibran menghela napas lega begitu memijak dalam ruangan tersebut. Kompetisinya masih berlangsung, dapat Zibran lihat betapa tenang putranya menjawab pertanyaan tanpa gurat gentar. Hingga beberapa menit setelahnya riuh suara penonton menggema saat anak itu dinyatakan menjadi pemenang.
Lagi-lagi ia tak kuasa menahan haru melihat prestasi putranya yang selalu berhasil membuatnya bangga. Ingin rasanya Zibran menghambur dan memeluk Kaffa, mengecup lumbut kening sang anak, selayakny orang tua lainnya. Namun, jangankan untuk memeluk berbicara dengan akrab pun ia masih belum mampu.
Sampai saat ini ia masih tetap bersembunyi dan menjadi pengecut, hanya mampu mengawasi Kaffa dari jauh seperti biasanya. Selalu saja gugup yang ia rasa membuat segala kesempatan menjadi sia-sia, tak ada kemajuan bukannya lebih akrab Kaffa seolah menghindar darinya hingga menganggap aneh dirinya.
Dari tempatnya Zibran menatap Kaffa yang tersenyum senang dengan piala yang ia dapat. Riuh tepuk tangan hingga sorakan heboh dari para pemuda yang baru tiba pun menggema, Zibran tak perlu menoleh untuk melihat siapa mereka. Dalam hati ia benar-benar bersyukur putranya memiliki sahabat yang baik dan dapat tumbuh dengan baik meski tanpa hadirnya.
***
Menjadi penguntit bagi Zibran adalah hal biasa. Ia selalu mampu mengikuti ke mana pun putranya dengan diam-diam. Sejak sore tadi ia selalu mengikuti ke mana pun Kaffa pergi, termasuk mengikuti saat kaffa bersama teman-temannya merayakan kemenangan Kaffa yang menjadi juara Olimpiade Matematika, kembali mengharumkan nama sekolah.
Zibran bukannya protektif hingga haru mengawasi Kaffa sampai seperti ini. Ia tidak mencemaskan pergaulan Kaffa karena ia yakin teman-teman yang Kaffa miliki tidak seperti temannya dulu. Zibran hanya ingin dapat selalu melihat putranya, berharap dapat memiliki kesempatan untuk lebih dekat lagi. Namun, Zibran terlalu bodoh hingga kesempatan yang ada selalu hilang.
"Jadi, Denia?" tanya Zibran yang kemudian mengusap wajahnya kasar setelah mendengar kalimat Bayu yang menyuruhnya datang setelah ia memastikan Kaffa pulang dengan selamat sampai rumah.
"Aku hanya dapat berbohong saat ini, tapi aku tidak dapat menjamin bila Denia tiba-tiba Denia datang ke sekolah untuk memastikan," terang Bayu.
"Sampai saat ini aku belum dekat dengannya, Kak Bay, yang ada aku terlihat bodoh di depannya." Zibran lagi-lagi menghela napas berat, ia benar-benar bingung akan hal ini. Bila Denia tahu akan hadirnya, maka kesempatan untuk bersama Kaffa bisa saja hilang.
Bayu hanya dapat menepuk pundak sahabtnya, ia tak dapat mengatakan apa pun akan masalah Zibran. Hanya menguatkan yang dapat ia lakukan, menjadi tempat Zibran menumpahkan keluh kesahnya agar beban sahabatnya berkurang.
"Maaf, Zib-"
"Aku tidak ingin mendengar itu, Kak, aku butuh solusi!" Zibran menyela menatap Bayu dengan pandangan hampa. Maaf dari Bayu tidak lagi ia butuhkan, ia ingin jalan keluar.
Tanpa mengatakan apa pun lagi Zibran meniggalkan tempat itu sebelum emosinya pada Bayu kian hilang kendali. Tak seharusnya pula ia menuntut saran dari Bayu seperti tadi bila kesalahan itu ada padanya.
***
"Kaffa berangkat dulu, Ibu, Nenek, Assalamualaikum," ucap Kaffa setelah mengecup punggug tangan kedua wanita di hadapannya.
Anak itu pun mengayuh sepedanya dengan semangat mencoba mengenyahkan pikiran buruknya akan hal aneh yang terjadi pada ibunya sejak semalam hingga pagi ini.
Namun, mata sembab yang Kaffa dapati malam tadi hingga ibunya yang tidak membuka toko membuat Kaffa cemas. Ia takut bila hal buruk terjadi pada ibunya, tapi bagimana Kaffa bisa tahu bila ibunya terlalu rapat menutup rahasia darinya. Kaffa pun tidak ingin bertanya lebih jauh, tak ingin rasa ingin tahunya hanya akan membebani sang ibu.
Kaffa memejam sesaat lalu menghembuskan napas berat, mencoba berpikir positif. Berharap semuanya akan baik-baik saja, apa pun rahasia yang ibunya miliki ia takkan mengusik itu, sekalipun itu tentang ayahnya ia tak aka menuntut penjelasan, karena ia paham apa yang dilakukan ibu maupun neneknya adalah yang terbaik untuknya. Ia hanya harus dapat melindungi mereka agar tidak terluka.
"Assalamualaikum. Pagi, Pak Yudi," sapa Kaffa pada satpam yang berjaga di gerbang yang disambut ramah oleh Yudi.
Setelahnya Kaffa pun berjalan menuju kelasnya usai memarkirkan sepeda. Namun, baru beberapa langkah seseorang memangil membuatnya menoleh.
"Pak Zibran," gumam Kaffa melihat pria tersebut yang berjalan menghampirinya dengan bola basket di tangannya.
"Ayo, temani Bapak main basket!"
"Eh?!" Kaffa menatap bingung Zibran yang tanpa permisi menarik tangannya.
__________________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
A Little Hope (End)
General FictionHarapnya tidak banyak. Mimpinya tidaklah besar, serta angannya sederhana. Ia tak banyak meminta. Satu harapnya, hanya ingin bersama seseorang yang telah ia rindukan. Cover By: @Ramviari.