Kaffa mengulum senyum, semangatnya terbakar melihat betapa piawai Abizar memainkan si kulit bundar. Saat ini mereka tengah bermain bersama dengan cukup sengit, tak ada yang mau mengalah baik ia maupun Abizar.
Keduanya saling beradu merebut bola dan berkejar-kejaran mencetak angka memamerkan kemampuan masing-masing. Kaffa merasa benar-benar tertantang saat ini, awalnya ia sempat enggan untuk meladeni ajakan pelatihnya tersebut. Namun, melihat kemampuan Zibran membuat Kaffa tak dapat menahan diri dan langsung ingin bermain dengannya.
"Yess!" seru Zibran penuh semangat saat bola yang berada di genggamannya tadi berhasil masuk ke dalam ring membuat kemenangan menjadi miliknya.
Pria tersebut tersenyum senang, bukan hanya puas akan kemenangannya yang unggul dua poin dari Kaffa, ia merasa sangat bahagia dapat sedekat ini dengan Kaffa.
"Permainan, Bapak, bagus." Menyusul Zibran, Kaffa ikut duduk di lapangan basket. Ia tersenyum, bermain bersama Zibran cukup menyenangkan.
"Benarkah?" tanya Zibran menatap Kaffa dengan semangat, senyumnya merekah melihat reaksi Kaffa. Putranya mulai berbicara, memuji permainan Zibran dengan penuh semangat.
Zibran tersenyum lebar mendengar pujian Kaffa. Untuk pertama kalinnya mereka dapat sedekat ini dan berbincang dengan akrab, ia tak menyangka akan mendapat pujian dari Kaffa seperti ini padahal ia masih sangat kaku saat bermain.
Baru beberapa bulan Zibran kembali menyentuh bola oranye setelah sempat ia tanggalkan bertahun-tahun silam. Ia tidak lagi sepiawai dulu, begitu kaku dan berlari seperti tadi rasanya melelahkan. Berbeda dengan lima belas tahun lalu, saat di mana ia bermain dengan penuh semangat tanpa kenal lelah dan menjadi kebanggaan sekolah dan idola para siswi sekolahnya. Sama seperti Kaffa saat ini, tapi semuanya hancur akan kesalahannya.
Zibran menghela napas berat, mencoba menguarkan sesak yang menghimpit dadanya. Mengenang hal indah tersebut membuatnya juga mengingat segala hal pahit itu, saat di mana ia menodai sahabatnya sendiri, ketika segalanya rusak karena dirinya sendiri.
"Ah, sudah hampir bel. Aku ganti baju dulu yah, Pak." Zibran hanya dapat mengangguk, membiarkan Kaffa bejalan menjauh darinya dengan tergesa untuk segera mengganti jerseynya dengan seragam sekolahnya, tak ada kata yang dapat ia ucapkan pada Kaffa saat itu. Ia butuh waktu untuk tenang.
Tidak butuh waktu lama Kaffa akhirnya kembali dengan seragam lengkapnya. aturan di sekolah tersebut cukup ketat bila menyangkut kerapian dan disiplin, melanggar akan dikenakan sanksi.
"Maaf membuatmu bermain di pagi hari seperti ini," ucap Zibran sambil merapikan dasi Kaffa, lalu menyeka jejak keringat di wajah Kaffa.
"Tidak apa-apa, Pak," jawab Kaffa, "nanti main lagi yah. Nanti saya yang yang akan menang."
Zibran tersenyum, diusapnya puncak kepala Kaffa dengan lembut. "Berjuanglah, melawan Bapak itu tidak mudah."
"Dasar sombong," ucap Kaffa menatap Zibran dengan sambil tersenyum, sebelum akhirnya meninggalkan tempat itu dengan tergesa saat bel telah berbunyi nyaring.
***
Perhatian Kaffa teralih sepanjang pelajaran. Sentuhan Zibran tadi membuat pikiran dan hatinya mendadak tak menentu, ada rasa nyaman menjalar saat tangan lebar Zibran mengusap puncak kepalanya tadi. Entah mengapa perlakuan Zibran tadi membuatnya terdiam.
"Kaf!" Kaffa tersentak, ia sontak berbalik pada teman sebangkunya yang menatap.
"Bagi contekan, Kaf," pinta Dito yang masih belum menjawab satu soal pun. Kaffa hanya dapat menghela napas akan kelakuan Dito, selalu saja ia dimanfaatkan seperti ini. Benar-benar teman yang luar biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Little Hope (End)
General FictionHarapnya tidak banyak. Mimpinya tidaklah besar, serta angannya sederhana. Ia tak banyak meminta. Satu harapnya, hanya ingin bersama seseorang yang telah ia rindukan. Cover By: @Ramviari.