16 || Syok

1.7K 126 17
                                    

"Bagaimana bila Nenekmu semakin melarang Ayah bertemu denganmu?" tanya Zibran memandang Kaffa.

Keduanya kini telah berada di depan rumah Kaffa. Setelah keharuan siang tadi, malam ini Kaffa memutuskan pulang ke rumahnya. Siap dengan segala risiko yang akan terjadi nanti, lagipula ia tidak akan selamanya dapat menghindar dari neneknya.

"Ayah akan berjuang untukku bukan di depan nenek?" tanya Kaffa dengan senyum manisnya.

"Tentu saja, ayah akan lakukan apa pun untukmu. Bahkan bila harus memohon di bawa kaki nenekmu ayah akan melakukannya."

"Dasar bodoh,  Ayah tak harus melakukanya." Kaffa tergelak akan kalimat Zibran tentu saja ia tak pernah ingin ayahnya melakukan hal bodoh hanya untuknya.

Zibran menghela napas, menggenggam erat tangan Kaffa yang membawanya masuk ke dalam area rumah tersebut. Ia benar-benar gugup untuk kali ini, apa yang akan terjadi berisiko cukup besar.

Pintu itu akhirnya terbuka setelah beberapa kali Kaffa mengetuk pintu. Sosok itu akhirnya keluar, berseru lantang memanggil Kaffa hingga menarik Kaffa ke dalam dekapnya.

Zibran tak bersuara. Elma langsung menarik Kaffa darinya dengan cepat, seolah-olah tak ingin anak itu tesentuh olehnya.

Elma mendekap Kaffa dengan begitu erat, membawa cucunya masuk dan membanting pintu dengan keras tanpa peduli pada Zibran di luar sana yang mulai berteriak sambil menggedor pintu dengan keras.

***

"Apa yang terjadi? Mengapa kamu bersamanya?"

Elma melepaskan dekapnya, menatap Kaffa penuh tanya dengan panik, serta emosi yang dapat terbaca dengan jelas oleh Kaffa.

"Nek." Kaffa menggenggam tangan Elma, menatap wanita tersebut dan membawanya duduk pada sofa, berusaha menenangkan neneknya yang saat ini emosi.

"Selama ini kamu bersamanya? Bagaimana kamu bisa dekat dengan pria  itu? Kamu tahu betapa cemas Nenek padamu, tapi kamu malah bersamanya."

"Ne-"

"Jangan bilang kamu menerimanya setelah apa yang ia lakukan padamu dan ibumu," sela Elma dengan penuh emosi, "Bajingan itu telah membuat ibumu menderita selama ini!"

"Apa yang telah ayah lakukan? Meninggalkan ibu? Mengabaikan kami selama ini?" tanya Kaffa menatap neneknya dengan tatapan kecewa. "Semua itu keinginan Nenek, bukan? Lantas mengapa menyalahkan ayah?"

Elma tercenung akan pertanyaan Kaffa,  tatapan Kaffa yang tertuju padanya berhasil membuat seluruh kalimatnya terpenggal.  Emosinya yang membuncah melihat Zibran tadi menguap begitu saja saat irisnya beradu dengan sorot sendu cucunya.

"Ayah pergi meninggalkan kami bukan karena keinginannya, Nenek tahu itu, bukan? Nenek yang memintanya untuk pergi meninggalkan aku dan ibu, Nenek yang memaksa ayah menjauh dari kami,  benar, bukan?"

Kaffa menatap Elma lekat,  tak ada emosi dibalik setiap kalimatnya. Ia berusaha tetap tenang tanpa bersikap menghakimi neneknya. Bagaimana pun ia tetap harus bersikap tenang dalam situasi ini sehingga tidak semakin memperkeruh segalanya. 

"Benar. Nenek yang melakukannya,  Nenek yang menyuruh ia untuk pergi. Nenek tidak bisa melihat ibumu hidup dengan orang yang telah menghancurkan hidupnya."

"Lalu kenapa Nenek tidak membuangku juga, bukankah aku yang sudah membuat hidup ibu hancur?"

"Kaffa, bukan itu. Maksud Nenek, itu ...." Elma menggeleng, menggenggam tangan Kaffa, sungguh ia merutuki akan kalimat yang telah ia ucapkan.

"Aku tahu semuanya, Nek.  Tentang ibu, ayah, dan aku yang adalah sebuah kesalahan," ucap Kaffa yang kini tak mampu lagi menahan air matanya untuk tumpah.

A Little Hope (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang