Hening tercipta di antara keduanya. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari mereka. Kaffa sibuk dengan makanannya, sementara Firza yang datang bergabung hanya fokus menatap Kaffa sejak tadi memperhatikan Kaffa yang beberapa hari lalu membuatnya benar-benar khawatir.
Firza tak membuka suara, sampai saat ini masih belum memulai pembicaraan apa pun dengan Kaffa sejak tadi, tapi melihat Kaffa makan dengan lahap membuatnya mengurungkan niat meski hanya sekadar ingin menyapa.
Kaffa sendiri bukannya tak ingin menyapa Firza. Namun, ia tidak ingin membahas apa pun saat ini terlebih bila tentang masalah yang terjadi, Kaffa tak ingin mengungkit soal itu.
"Minum!" Firza dengan segera menyodorkan air minum pada Kaffa begitu anak tersebut selesai makan, saat yang tepat pula untuk memecah hening di antara mereka. Namun, ia sama sekali tak tahu cara memulai pembicaraan yang tepat saat ini. Takut bila akan membuat Kaffa tak nyaman.
"Aku duluan, Kak." Kaffa beranjak lebih dulu tanpa menunggu reaksi dari Firza ia segera berlalu dari tempat tersebut, dengan tergesa sebelum pada akhirnya terjebak dalam topik pembicaraan yang dihindarinya.
"Duduklah, aku tidak akan mengatakan hal yang tak kamu inginkan." Firza menggenggam erat tangan Kaffa, menahan gerak anak itu untuk menghindar darinya dan membawanya kembali ke tempat duduk yang tadi mereka tempati.
"Jadi mau bilang apa?" tanya Kaffa setelah hening dan canggung terasa di antara mereka yang sama-sama tidak memulai obrolan, terasa sulit karena setiap pembicaraan yang terjadi pasti akan berakhir pada pembahasan tersebut.
Firza tak menjawab, ia tak tahu akan apa yang ia katakan pada Kaffa saat ini. Lidahnya keluh meski hanya untuk bertanya, ia bilang bahwa ia tidak akan bertanya apa pun. Namun, semuanya terasa sulit, karena segala yang terjadi telah saling berhubungan. Pertanyaan apa pun tetap saja akan berakhir pada topik tersebut, hingga pada akhirnya dering bel mengakhiri kesempatan mereka untuk saling bercengkerama.
Kaffa bangkit lebih dulu dan melangkah terburu menjauh dari Firza dengan cepat sebelum Firza memanggil dan menahannya. Ia hanya tidak ingin terusik akan hal apa pun saat ini, terlebih bila itu berkaitan dengan masalah yang terjadi.
***
Ditinggal oleh Kaffa begitu saja membuat Firza kesal sendiri, tapi ia tidak dapat melakukan apa pun. Untuk menyusulnya saja Firza tak bisa, ia tidak ingin Kaffa kian menjauh bila ia memaksa.
"Anda puas? Lihat apa yang telah Anda lakukan? Seharusnya anda tidak pernah datang mengusik Kaffa."
Firza menatap tajam pada Zibran yang sejak tadi mengawasi Kaffa dari jauh, membuat Firza rasanya semakin geram pada pria tersebut.
"Bukan ini yang saya harapkan, kamu tahu bila saya mendekati Kaffa karena apa. Berada di posisi ini, kamu pikir saya mau?"
Zibran menatap Firza sendu. Ada rasa bersalah telah melibatkan anak itu ke dalam masalahnya hingga Kaffa turut menjauh darinya. Sungguh, tak ada keinginan Zibran untuk melukai Kaffa atau siapa pun. Semua di luar kendalinya, jika ia bisa, tentu ia akan memilih memendam rahasia itu hingga akhir hayatnya.
"Aish! Mengapa jadi serumit ini?" tanya Firza menggerutu dan meninggalkan Zibran. Bila saja ia tahu akan seperti ini, tentu ia memilih tidak akan berada di sana dan tahu segala tentang mereka, ia lebih memilih tidak mengetahui apa pun, dibanding dijauhi oleh Kaffa seperti ini.
Zibran hanya dapat diam di tempatnya, memandang punggug Firza yang kian menjauh darinya. Tatapan Zibran kosong, pikirannya kacau begitu pun dengan hatinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
A Little Hope (End)
Ficción GeneralHarapnya tidak banyak. Mimpinya tidaklah besar, serta angannya sederhana. Ia tak banyak meminta. Satu harapnya, hanya ingin bersama seseorang yang telah ia rindukan. Cover By: @Ramviari.